Dear
Bunda,
Apa yang sedang kau kerjakan
sekarang? Di rumah kita yang jauh dariku berada, mungkin saja kau sudah
terlelap tidur. Dalam kesendirian dan hanya ditemani musik alam, suara air
hujan yang mungkin juga turun di sana. Aku sedang berjuang mengerjakan tugas
Bunda, ada banyak sekali dan sungguh berat jika kau tanya tingkat kesulitannya.
Meski ini sepertinya adalah jam tidur bagi orang normal, mataku masih terpaksa
terbuka untuk menyelesaikan semuanya. Tapi sudahlah, aku tak mau mengeluh untuk
membuang habis isi tintaku. Karena jelas, perjuanganmu melahirkan dan
membesarkanku jauh lebih berat daripada perjuanganku sekarang.
Aku menyanyangimu,
Bunda. Meski jelas kau tak pernah mendengar kata-kata itu langsung dari
mulutku. Karena seperti yang kau tahu aku bukan manusia verbal yang mampu
mengungkapkan rasa dengan lisan. Surat ini cukup mewakili itu. Kuharap kau
mengerti. Seperti aku mengerti kau mencintai aku dan adik. Tidak dengan
kata-kata, tapi dengan rasa di balik perintah atau pintamu pada kami.
Dulu dalam kejahilan
pikiran anak-anakku, aku tak pernah melihat cahaya cintamu. Pula, ketika aku
beranjak remaja dan memiliki emosi yang labil. Tak terpikirkan olehku cintamu padaku
begitu besar, begitu nyata. Beberapa hal yang dulu kukira neraka bagiku darimu,
ternyata adalah surga yang baru kupetik sekarang buahnya. Misalnya ini,
semenjak kanak-kanak aku tak pernah menyukai momen saat sakit. Tidak seperti
sebagian besar anak-anak yang lain, yang ketika sakit cinta orang tua terlihat
dari kekhawatiran mereka pada anak-anaknya.
Semua keinginan kita bisa terpenuhi
ketika kita memintanya saat sakit, hal ini diceritakan oleh beberapa temanku
yang mengalaminya. Tapi tidak denganmu Bunda, frekuensi marah-marahmu semakin
meningkat ketika aku sakit karena jelas saja aku jauh lebih rewel pada saat
itu. Itu membuatku benci untuk jatuh sakit hingga sekarang. Strategimu
berhasil, Bunda. Aku jarang sakit dan menjadi anak yang sehat hanya karena
takut dimarahi olehmu.
Hal lainnya, seperti
orang tua mana pun di dunia ini, kau sering melarangku ini-itu. Di usiaku
beberapa tahun yang lalu, jelas itu membuatku dongkol padamu. Sekarang ketika
umurku sudah bisa dibilang hampir dewasa, aku menyadari semua itu kau lakukan
karena kau sayang padaku. Beruntungnya aku memiliki Bunda sepertimu, sehingga
masa remajaku tak bernoda dan itu kusyukuri sekarang. Sepertinya tak berlebihan
jika kukatakan sekarang aku menyesal atas sikap-sikapku padamu yang
menjengkelkan dulu, seperti sering merajuk jika tak dipenuhi keinginanku, keras
kepala, bahkan melanggar beberapa laranganmu.
Aku sayang padamu,
Bunda. Tapi jujur aku tak tahu persis bagaimana itu harus kuungkapkan. Dengan
kata, itu bukan tipeku. Dengan sikap, aku sedang berusaha sekarang.
Membanggakanmu, dengan segala kemampuan yang punya. Kutambah dengan seluruh
kemauan yang kumiliki. Aku akan membanggakanmu, menjadi anak yang berbakti, shalehah
dan selalu menyenangkan hatimu dan Ayah dengan keteduhan yang kalian ingin aku
ciptakan.
Ini surat cinta
pertamuku. Kutujukan bukan untuk kekasihku tapi untukmu malaikatku, Bunda. Jika
kau membaca ini tak perlu dibalas, hanya saja tambahkan doa pada setiap akhir
shalatmu, agar aku semakin dan selalu mencintaimu.
Putrimu,
Rindang
Posting Komentar
Posting Komentar