Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2009
|
Di hari pertama di Pondok Madani
(PM), Alif terkesima dengana “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dengan Raja dari Medan,
Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari
Gowa. Di bawah teras menara masjid, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan
lembayung yang berarak ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua
impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang
mereka tahu adalah: jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun.
Tuhan sungguh Maha Mendengar.
**
Meskipun aku sungguh telat
membaca buku ini, tapi hikmah dan energi yang tertransfer ke diriku mungkin
masih sama besarnya ketika sang penulis mulai melempar novel ini ke publik. Bagaimana
tidak telat, buku ini terbit tahun 2009 -buku yang kubaca adalah cetakan ke-19 tahun
2012, dan dibaca pada tahun 2014! Sama seperti telatnya aku membaca Ayat-Ayat
Cinta-nya Kang Abik yang saat itu memang telat boomingnya, bertahun-tahun setelah terbitnya di tahun 2004.
Negeri 5 Menara (N5M) sendiri
sudah lama kudengar beritanya. Sudah banyak resensi dan review serta celotehan
teman-teman di dunia maya yang kubaca tentang buku ini. Bahkan sudah menonton
filmnya pula! Tapi N5M belum juga terbaca. Bukan tidak ingin membaca, tapi aku
belum punya waktu membaca dan memang belum berjodoh bertemu dengan buku ini
secara kebetulan. N5M yang kubaca ini adalah hasil pinjaman dari perpustakaan
daerah dengan sengaja. Pada awalnya di Banjarbaru Book Fair 2014, aku memiliki
kesempatan memilih dua judul buku gratis dari stand toko buku Gramedia. Setelah melihat-lihat semua buku yang ada
di stand tersebut, aku menjatuhkan pilihan
pada Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Kalau pun boleh 3 judul, pasti N5M
kukantongi juga. Alasanku memilih dua sekuel terakhir dari triologi N5M ini
karena kupikir pasti sudah banyak orang yang memiliki buku N5M, jadi aku bisa
pinjam saja =D
Setelah membaca buku ini aku percaya
bahwa novel ini adalah kisah nyata. Meskipun di halaman sebelum daftar isi
sudah ditulis, bahwa novel ini mengandung fiksi dan ceritanya memang
terinspirasi dari kisah nyata yang dialami si penulis. Aku benar-benar membayangkan
bahwa Alif, tokoh utama dalam novel itu adalah Ahmad Fuadi, sang penulis. Dia
seperti menulis memoar perjalanannya dengan detail saat menjadi santri dulu. Cerita
terbaik memang berasal dari kisah nyata. Kisah yang juga bisa disebut sebagai
pengalaman, guru terbaik kehidupan.
Buku ini cocok dibaca oleh
orang-orang yang mempunyai mimpi. Meskipun jalan untuk menuju mimpi tersebut
belum terlihat sekarang. Terlebih, buku ini juga sangat cocok untuk orang yang
mempunyai mimpi setinggi langit namun ditertawakan oleh orang-orang di sekitar,
dengan embel-embel olokan mimpi di siang bolong. Tidak terkecuali, novel ini
juga layak dibaca oleh orang yang hidup tanpa mimpi. Bermimpi adalah salah satu
napas kehidupan, oleh karena itu belajarlah bermimpi dan miliki keoptimisan
untuk meraihnya. Bermimpi tidak membuat kita rugi.
Pesan utama novel ini adalah satu
pepatah arab, man jadda wajada. Siapa
yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mencapai tujuannya. Itulah gunanya usaha,
mimpi tanpa usaha adalah suatu kesalahan. Mimpi akan membuka jalan dan jalan
tersebut akan lebih jelas ketika kita melakukan usaha untuk meraihnya. Dengan
satu pepatah tersebut, maka seluruh kisah dalam novel ini tersimpul dengan
baik.
Selain itu pelajaran kehidupan
yang paling berkesan bagiku yang termuat dalam novel ini adalah mengenai
keikhlasan. Betapa keikhlasan mampu merubah kondisi hati dari yang rusuh
menjadi damai. Pemahaman tentang keikhlasan adalah salah satu pemahaman yang
sulit dimengerti oleh sebagian besar manusia modern saat ini. Karena ikhlas
adalah perjanjian suci, tanpa motivasi imbal jasa. Keikhlasan juga energi yang
luar biasa di dunia yang penuh dengan tipu daya seperti sekarang. Ikhlas hanya
dimiliki oleh hati yang bersih dan menghubungkannya dengan kehidupan –dunia dan
akhirat yang baik pula.
Membaca buku ini mengingatkanku
pada novel Laskar Pelangi (LP)nya Andrea Hirata. Gaya penulisannya mirip,
sama-sama diambil dari kisah nyata pula. Inti ceritanya juga sama, mimpi. Bermimpilah
maka Tuhan akan memeluk mimpi kita, karena Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Perbedaannya terletak pada tema pendidikan dan latarnya. LP lebih menyoroti
pendidikan (umum) di pedalaman dan mengemukakan kesenjangan pendidikan antara
di daerah dan di perkotaan. Sedangkan di N5M, Ahmad Fuadi mengangkat tema
pendidikan agama dengan latar belakang pesantren. Seluk beluk tentang
keseharian di lingkungan pesantren, yang mungkin tidak banyak orang tahu, menjadi bagian terbanyak penyusun
novel ini. Tentu saja sisi agamanya lebih menonjol di N5M daripada di LP. Perbedaan
lain adalah pada segi bahasa, LP bahasanya lebih nyastra dan berat (bagiku) meskipun tetap ada bagian yang membuatku
terpingkal-pingkal. Bahasa Ahmad Fuadi lebih membumi dan cerita-cerita lucu
dari Sahibul Menara juga bisa membuatku ngakak
aneh membaca novel ini.
Berbicara tentang filmnya, seperti
komentarku pada film-film yang diangkat dari novel, bagusan novelnya. Mungkin
karena keterbatasan ruang dan waktu, film tidak seperti novel yang membebaskan
imajinasi kita dan menikmati detail sebagai pelengkap cerita. Di film N5M, ada
beberapa bagian yang kurang sesuai dengan novelnya. Contohnya tentang Sarah yang
di novel adalah putrinya Ustad Khalid, sedangkan di film Sarah merupakan
keluarga Kiai Rais. Di film juga misi Alif berfoto bersama Sarah tidak berhasil,
tapi di novel sebaliknya meskipun fotonya bersama keluarga.
Terakhir, aku sangat menyukai syair
atau kata-kata mutiara dari seorang imam yang terkenal yaitu Imam Syafi’i, yang
tertulis di bagian awal buku ini. Syair ini membuatku banyak berpikir ulang
dalam menata arah peta hidupku ke depan.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih,
Jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang
tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Posting Komentar
Posting Komentar