Meminjam itu bisa lebih berbahaya daripada meminta. Begitu kita meminta, apa pun
objeknya, pasti telah diputuskan untuk diberikan oleh yang punya. Semua terang
benderang. Ada ijab dan kabul. Ada yang ikhlas memberi dan ada yang ikhlas
menerima. Tapi ketika sesuatu dalam status dipinjam, tidak ada kata putus di
sana. Mungkin
selalu ada benih konflik yang ikut tertanam bersama meminjam. Dia bisa beracun
dan laten.
Itu yang tertulis di halaman 172 novel Ranah 3 Warna. Aku sendiri biasanya mengalami masalah dalam hal pinjam-meminjam buku. Lebih sering aku berada di posisi sebagai pihak yang bukunya dipinjam. Yang jadi masalah, si peminjam ada yang lupa mengembalikan sehingga ketika dia mengembalikan aku sudah lupa kalau punya buku itu. Masalah yang lain seiring dengan lamanya waktu pengembalian buku, kualitas morfologi bukuku juga menurun. Ini yang biasanya membuatku berang. Meminjam lama masih kumaafkan asal dikembalikan dan selama dipinjam bukuku membawa manfaat. Tapi kalau sudah menyangkut “keselamatan” bukuku, aku sama sekali tidak toleransi.
Itu yang tertulis di halaman 172 novel Ranah 3 Warna. Aku sendiri biasanya mengalami masalah dalam hal pinjam-meminjam buku. Lebih sering aku berada di posisi sebagai pihak yang bukunya dipinjam. Yang jadi masalah, si peminjam ada yang lupa mengembalikan sehingga ketika dia mengembalikan aku sudah lupa kalau punya buku itu. Masalah yang lain seiring dengan lamanya waktu pengembalian buku, kualitas morfologi bukuku juga menurun. Ini yang biasanya membuatku berang. Meminjam lama masih kumaafkan asal dikembalikan dan selama dipinjam bukuku membawa manfaat. Tapi kalau sudah menyangkut “keselamatan” bukuku, aku sama sekali tidak toleransi.
Untuk
menghindari masalah-masalah tersebut, kini aku membuat daftar peminjam buku. Lengkap
dengan tanggal pinjamnya. Jika sudah lama, satu bulan misalnya, aku akan dengan
sedikit tega bertanya apakah bukuku sudah selesai dibaca. Kalau sudah, aku
minta dikembalikan. Selain daftar peminjam buku, aku juga membuat daftar tidak
tertulis tentang orang-orang yang cenderung melupakan pinjaman mereka atau
membahayakan keselamatan bukuku. Setidaknya jika aku mengetahui bukuku berada
di tangan orang yang terpercaya, aku akan merasa sedikit lega meski berapa pun
lamanya. Mengimbangi hal ini, aku pun juga bersikap sama dengan buku-buku orang
lain yang kupinjam. Persis kuperlakukan seperti milikku sendiri.
Sebenarnya
metode mencatat barang pinjaman tersebut bisa dilakukan untuk semua barang, tidak
hanya sebatas buku. Bahkan meskipun barangnya sepele, seharusnya tetap dicatat.
Bagaimanapun, akad yang terlisan saat pemindah-tanganan barang adalah meminjam
bukan meminta atau memberi. Tapi karena barang-barang berhargaku yang sering
dipinjam adalah buku jadi hingga sekarang aku baru mempraktikkannya untuk
peminjaman buku.
Selain barang, yang tak kalah pentingnya untuk dicatat adalah peminjaman uang atau lebih kerennya disebut utang. Baik kita sebagai pengutang ataupun pemberi utang, seberapa pun kecilnya, kita tetap harus mencatat jumlah, nama peminjam, beserta tanggal pinjam. Karena sekali lagi tidak ada akad serah-terima kepemilikan dalam meminjam. Jika suatu hari kita ingin membayar tapi orangnya sudah merelakan utang kita, urusan kita sudah selesai. Karena pernah kudengar bahwa urusan utang ini dapat menghalangi seseorang masuk surga.
Selain
urusan akhirat, dampak lain dari proses peminjaman tidak sehat adalah
berkurangnya kepercayaan orang lain kepada kita. Kepercayaan bukan hal yang
murah lho di zaman sekarang. Mungkin saja suatu saat di masa depan
ketidakpercayaan mereka itu menghalangi kita mendapatkan kesempatan besar. Rugi
banget kan?
Jadi
yuk, mari bersama-sama kita menjadi peminjam yang baik mulai dari sekarang.
Posting Komentar
Posting Komentar