Rumahku seperti vila. Bukan
karena bangunannya, tapi karena letak dan fungsinya. Letaknya terpencil, di
ujung kampung, bahkan di ujung kecamatan. Fungsi rumahku lebih menyerupai
tempat peristirahatan, daripada sebagai tempat tinggal. Sebagian besar
penghuninya tidak menghabiskan banyak waktu di sana. Hanya mama yang selalu standby, sebagai penjaga vila. Sedangkan
aku, adik, dan papaku berada di tempat-tempat berbeda dengan urusan kami
masing-masing. Ya, kami keluarga yang terpencar di empat penjuru mata angin.
Ketika hari raya keagamaan atau libur
nasional, kami akan beramai-ramai pulang kampung. Terkadang juga ada saat-saat
dimana kami janjian pulang bareng di akhir pekan. Kalau tidak bisa diatur
waktunya, maka kami akan pulang sendiri-sendiri. Oleh karena itu, urusan pulkam
ini begitu penting bagiku. Bagi beberapa teman dekat, mereka sangat tahu kalau aku
addicted dengan pulkam. Ya, karena
sensasi berkumpul dengan keluarga sangat wah kurasakan pada saat pulkam.
Dari depan, rumahku hampir tak terlihat karena tertutup pohon rambutan |
Rumahku menghadap ke utara, jalan kampung membentang dari barat ke timur. Di sebelah barat rumahku, diselingi satu rumah tetanggaku, terdapat SD yang menjadi sekolahku dulu. SD ini membuat suasana di sekitar rumahku agak ramai saat pagi hingga siang hari, tapi sepi luar biasa jika sore hingga malam hari. Apalagi di saat hari minggu atau hari libur. Hal ini karena jarangnya rumah di sekitar rumahku. Tambahan pula, jumlah orang yang menghuni rumah yang sedikit tersebut juga sedikit.
Di seberang SD ada tiga buah rumah,
satu rumah dengan jarak terjauh dari rumahku dihuni oleh 4 orang. Geser ke
sebelah timur, terdapat rumah yang dihuni oleh 3 orang, termasuk 1 bayi, di
sebelahnya lagi rumah tanpa penghuni. Sebenarnya tiga rumah terakhir ini milik
keluarga besar. Masing-masing memiliki anak minimal 4 orang. Sekarang sedikit
penghuninya karena anak-anak mereka merantau ke luar daerah karena menikah,
bekerja, atau sekolah. Lebih ke timur lagi, di seberang rumahku, tak ada rumah.
Sebagai gantinya pepohonan rimbun rapat tumbuh di sana.
Di sebelah timur rumahku ada
rumah nenek, yang kosong sejak dua bulan terkahir. Nenekku sedang berada di Samarinda,
di rumah uwak, kakak bapakku. Nenek “dilarang” pulang sejak pengantinan
sepupuku. Disini sangat sunyi, begitu alasan uwak. Meski nenek dari pihak
papaku tersebut, sudah merengek mau pulang ke rumah tuanya. Fyi, umur nenekku lebih dari 80 tahun.
Di sebelah rumah nenekku terdapat
rumah mendiang datu, nenek dari mamaku. Beliau meninggal satu tahun yang lalu.
Hingga sekarang, rumah tersebut kosong. Terkadang nenek dari pihak mamaku
menjenguk dan membersihkan rumah tersebut. Di seberang rumah datu ada rumah satu
keluarga yang sekarang hanya ditempati oleh tiga orang penghuni rumah. Anak
gadis keluarga tersebut berjualan pada saat malam hari di warung depan
rumahnya. Suasana malam yang hening di sekitar rumahku terkadang terkoyak
akibat suara-suara yang berasal dari warung malam tersebut.
Di sebelah timur warung tersebut
terdapat rumah satu keluarga yang baru dibangun. Aku heran, kenapa ada keluarga
yang mau membangun rumah di sana. Suasana desa yang sunyi terkadang membuat
orang enggan mendirikan rumah di sekitar rumahku. Mungkin keluarga tersebut
tidak berpikiran seperti orang kebanyakan. Di sebelah timurnya lagi, terdapat
satu rumah dengan penghuni berjumlah 5 orang.
SD di dekat rumahku
|
Di sebelahnya lagi terdapat
sebuah rumah kecil dengan jumlah anak 8 orang, laki-laki semua. Setengah dari
anak-anak tersebut sudah tidak menghuni rumah itu lagi karena merantau ke luar
daerah. Rumah ini merupakan rumah terakhir di bagian utara jalan. Sedangkan di
bagian selatan jalan, yang artinya sejajar dengan rumahku masih ada satu rumah
lagi. Rumah ini dipisahkan oleh tanah berpepohonan dengan jarak yang cukup jauh
dari rumah datu. Penghuni rumah ini ada sekitar 5 orang, satu pasangan tua dan
satu pasangan muda dengan satu anak kecil.
Selama aku tinggal di desa
tersebut, rumah yang terakhir kusebutkan merupakan rumah paling ujung dari
desaku. Tapi ternyata saat aku terakhir ke sana, ada satu rumah lagi yang
dibangun tepat di dekat tanda perbatasan kecamatan. Rumah dari kayu tersebut
masih setengah jadi. Bertingkat dua, dengan bagian atas tertutup rapat dan
bagian bawah masih ada yang belum punya dinding.
Begitulah sekilas gambaran rumahku
dan rumah-rumah di sekitar rumahku. Cukup sunyi, itu yang bisa kusimpulkan. Meskipun
di bagian barat kampung agak lebih ramai. Tapi karena jaraknya jauh dan kami
sekeluarga juga jarang keluar rumah, jadi berasa sekali sunyinya.
Tapi bagaimanapun, aku merasa
nyaman tinggal di rumahku, di desaku. Suasana yang sunyi cocok dengan karakterku
yang hampir anti-sosial. Meski aku belum mengambil keputusan jika aku menikah
nanti dan membentuk sebuah keluarga sendiri, apakah aku akan membangun rumah di
sana.
Posting Komentar
Posting Komentar