Judul : Rantau 1 Muara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2013
|
Akhirnya tamat juga aku membaca Trilogi Negeri 5 Menara. Baru saja aku dari halaman 407, halaman terakhir novel Rantau 1 Muara. Kali ini aku akan menceritakan kesanku terhadap novel ini khususnya dan 2 novel sebelumnya secara umum.
Di Rantau 1 Muara, diceritakan Alif dewasa. Ia sudah lulus kuliah dan mulai bekerja. Pada awalnya dengan pengalaman beberapa kali ke luar dan banyak tulisan-tulisannya yang masuk media ia optimis bisa bekerja di mana pun ia mau. Tapi perkiraan alif meleset. Saat itu ia berada di waktu yang salah. Indonesia sedang digoncang reformasi. Kondisi ekonomi Indonesia morat-marit. Jangankan pengangguran, yang bekerja pun banyak yang resah.
Dimulailah perjuangan Alif. Ia melamar ke banyak perusahaaan. Jawabannya selalu sama, ia ditolak. Cita-cita lamanya dulu ikut terusik juga. Menjadi ahli teknik. Apalagi setelah melihat Randai yang selalu menyemburkan tawa persaingan. Tapi ia kemudian ingat petuah kiai rais saat di pondok madani dulu. Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Akhirnya ia menyerah, ia menyadari ia tidak berjalan di jalan yang ia ingin capai sebelumnya. Seperti Randai yang dari awal sudah sekolah di jurusan teknik, bekerja di PT. IPTN, dan ingin melanjutkan kuliah di Jerman. Betapa konsistennya Randai. Lha Alif?
Alif menerima tantangan Randai. Ia ingin menggapai menaranya dulu. Tapi dengan jalan yang tak lagi lurus. Ia merubah haluan dengan tujuan yang sama. Ia menjadi wartawan, sesuai jalan yang ditempuhnya selama ini. Pada akhirnya ia berhasil dengan usaha yang tidak bisa dibilang mudah.
Bagian dari novel ini yang membuatku tergelak sangat hebat adalah ketika ada orang asing yang menelepon ke telepon apartemen Alif. Orang asing tersebut menggunakan Bahasa Spanyol, sehingga Alif memanggil orang asing ini dengan sebutan Latino. Diduga bahwa si Latino ini sedang mabuk saat menelepon Alif karena waktu meneleponnya selalu tengah malam. Sampai suatu ketika Alif sudah capek menghindar dan mematikan telepon, ia ladeni saja si Latino. Alif yang tidak mengerti bahasa si orang asing menyahut dengan nahasa yang tak kalah asing, Bahasa Minang. Dengan ngalor ngidul ia bercerita tentang hikayat Rapek Mancik, sebuah kisah perseteruan antara kucing dan tikus. Pada suatu titik dalam cerita, si Latino terdiam. Entah dia bingung atau ikut tegang dengan cerita saat tikus berusaha mengalungkan giring-giring ke leher kucing, ia kemudian mematikan telepon. Sejak saat itu dia tak pernah menelepon lagi, berhenti sama sekali. Memangnya si Latino ngerti bahasa minang? Entahlah.
Aku juga menyukai cerita cinta Alif dalam novel ini. Tidak semengenaskan ceritanya dengan Sarah dan Raisa dulu. Ceritanya romantis meskipun dengan cara yang tidak biasa seperti digambarkan oleh novel-novel bertema roman. Bahkan dalam urusan yang satu ini, Alif juga harus melewati perjuangan yang hebat. Yang paling membuatku geli adalah keheranan Alif tentang perempuan. Mengapa aku harus selalu meneba-nebak perasaannya? Mengapa ia tidak mengatakan saja apa yang ada di hatinya? Aku kan bukan cenayang! Sumpah, ini bagian terlucu kedua menurutku setelah kasus telepon kaleng si Latino.
Seperti 2 novel sebelumnya, kata dalam judul merupakan inti dari novel ini. Seperti pada Negeri 5 Menara, menara adalah perlambang mimpi dari Alif dan sahabat-sahabatnya yang bercita-cita merantau ke suatu negara. Dalam Ranah 3 Warna, ranah menggambarkan tempat di mana Alif berkelana selama di novel tersebut. Sedangkan di Rantau 1 Muara ini, muara adalah tempat akhir yang akan ia tuju setelah selama pengembaraannya selama ini. Jadi, dimanakah Alif akan bermuara?
Novel ini memang bukan akhir dari perjalanan hidup Alif. Perjuangan akan selalu ada hingga hayat lepas dari badan. Tapi perjalanan Alif separuh dunia dari trilogi ini telah diputuskan untuk berpulang pada satu titik. Satu muara. Jujur, aku sangat kagum dengan keputusan Alif di akhir cerita yang tak goyah meskipun godaan duniawi menanti di sisi lain. Aku mengira, ini juga merupakan keputusan penulis karena aku selalu menganggap 80% cerita dalam trilogi ini adalah kisah nyata. Seandainya penulis mau, perjalanan hidup Alif mungkin bisa diabadikan dalam pentalogi kali ya? Hehe.
Pesan utama dari novel ini secara keseluruhan adalah anjuran untuk pergi merantau dan segala perantauan pasti sampai pada satu muara.
Seperti pepatah minang yang telah diterjemahkan ini.
Bertuanglah sejauh mata memandang
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang
Bergurulah sejauh alam terkembang
Dan juga syair Imam Syafi’i ini.
Merantaulah. Gapailah setinggi-tinggginya impianmu. Bepergianlah, maka ada lima keutamaan untukmu. Melipur duka dan memulai penghidupan baru. Memperkaya budi, pergaulan yang terpuji, serta meluaskan ilmu.
Posting Komentar
Posting Komentar