Judul : Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2011
|
Kapan terakhir kali kita memeluk
ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan
terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas
menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Inilah kisah tentang seorang anak
yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang
justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat
kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan di novel ini, tidak ada lagi
cara terbaik untuk menjelaskannya.
Mulailah membaca novel ini dengan
hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin
menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat
mengatakannya.
**
Hiks, membaca pengantar di cover
belakang novel ini saja sudah membuat hatiku gerimis. Apalagi mengingat bagaimana
hubungan aku dan ayahku yang tidak bisa dibilang dekat.
Novel ini bagiku adalah jenis
novel yang bisa dbaca sekali duduk. Tidak sampai 24 jam sejak memulai halaman
pertama, aku telah tiba di halaman terakhir setelah beberapa jeda dengan seabrek
kegiatan. Jam 1 malam aku baru tertidur dengan mata merah karena menangis
akibat isi novel ini.
Sedih. Asli. Di satu sisi aku
mendukung Dam, tokoh anak dengan ketidakpercayaannya pada cerita ayahnya yang
memang terdengar mustahil. Di satu sisi, aku pun merasa kasihan dengan tokoh
sang ayah yang terlihat merasa didurhakai oleh anak semata wayangnya. Apalagi
saat Dam sudah menikah. Asli aku paling sensitif dengan tema-tema keluarga
seperti ini.
Kutipan dalam novel ini yang
paling kusuka adalah “Cerita-cerita ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh
menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda”. Menurutku si
ayah tersebut berhasil, hanya saja Dam dikalahkan oleh kesombongan logikanya.
Satu pesan yang bisa kupetik dari
novel ini adalah bahwa tidak semua hal di dunia ini diketahui oleh internet.
Misalnya ketika kita mengetikkan nama nenek kita, dan mesin pencari terbesar
sekalipun ternyata tidak menemukan sosok yang kita maksud. Bukan berarti nenek
kita tidak pernah ada di dunia bukan?
Cerita yang paling kusuka dari
dongeng-dongeng ayah Dam adalah cerita tentang danau para sufi. Betapa benar
bahwa kebahagiaan itu datang dari dalam hati kita. Bukan dari luar, bukan dari
dunia. Seburuk apapun keadaan dunia, ketika hati kita merasa lapang dan jernih
maka tak ada yang bisa mengeruhkannya.
Posting Komentar
Posting Komentar