Judul : Wanita di Lautan Sunyi
Penulis : Nurul Asmayani
Penerbit : Quanta
Tahun terbit : 2014
|
“Jika dirimu adalah angin, boleh jadi engkau akan bertemu badai.”
Tiara, ingin menjadi angin. Ia ingin bertiup, berputar, dan bergerak sesukanya. Ia ingin mandiri, jauh dari bayang-bayang kesuksesan kedua kakaknya. Tiara lalu mengabdikan dirinya sebagai guru, jauh di desa terpencil. Apakah ia akan bertemu badai?
Yan, seorang lelaki laut yang kehilangan sosok bapak. Tempaan keras kehidupan membuat wataknya keras dan kasar, padahal ganasnya ombak di lautan tak bisa dikalahkan dengan kemarahan dan kekerasan. Terbukti! Yan diberhentikan karena memukul sang nakhoda, lalu diturunkan ke daratan. Sanggupkah Yan mengubah dirinya di daratan?
Latifah, seorang wanita sunyi. Bisu dan tuli sejak lahir. Dalam kesunyiannya itulah ia berusaha menaklukkan badai demi badai dalam hidupnya. Kehilangan ayah, kehilangan anak, lalu kehilangan suami. Ah, mampukah ia terus bertahan?
Wanita di Lautan Sunyi adalah jalinan kisah ketiganya. Tiara, latifah, dan yan dengan balutan maslah masing-masing. Mereka bertemu pada satu titik, lalu terjadilah berbagai peristiwa yang mengubah garis hidup mereka.
**
Setelah membaca blurb novel ini di atas, aku menyangka akan membaca sebuah novel dengan jalinan cerita cinta segitiga. Namun setelah menyelesaikan membaca novelnya, aku tersadar aku salah. Mereka bertiga memang berhubungan dalam pola segitiga, tapi dengan jalinan sedemikian rupa yang sama sekali bukan tentang cinta antara dua wanita dan satu pria. Tiara adalah angin, Yan adalah lautan, dan kesunyian adalah milik Latifah. Ketiganya melebur dalam novel ini.
Novel ini dipenuhi dengan diksi tentang lautan dan kawan-kawannya. Di setiap bab, terdapat kata-kata mutiara yang menggambarkan judul bab dan cerita di dalamnya. Judul-judul babnya sendiri terdiri atas unsur-unsur lautan seperti pantai, angin, laut, dan badai. Novel yang filosofis sekali. Hal ini juga terlihat pada judul novelnya, Wanita di Lautan Sunyi. Aku menyukai jenis-jenis novel seperti ini.
Setting Kecamatan Sangkulirang yang notabene adalah tempat terpencil di Kalimantan Timur membuatku juga betah membaca novel ini. Aku benar-benar senang bisa membayangkan suasana desa di tepi pelabuhan dimana Tiara mengabdi, mencium aroma asin lautnya, merasai angin yang menerpa wajah Latifah, dan bagaimana kehidupan masyarakat pantai di “paruh” Kalimantan tersebut.
Tema yang diangkat dalam novel 356 halaman ini sebenarnya sederhana, yaitu berjuang menghadapi keterbatasan. Namun dalam balutan kisah cinta dan setting yang terjalin rapi, tema yang sederhana ini malah membuat novel ini mempunyai “rasa” yang berbeda. Lagipula, dengan label inspired by true story pada covernya, novel ini semakin terasa hidup.
Tentang isi novelnya sendiri, ada banyak pesan yang bisa kita serap dari novel ini. Dari kata-kata mutiara di awal bab, dari perilaku tokoh, serta dari bagaimana penulis menggambarkan bahwa keterbatasan bukanlah hal yang tercipta untuk ditangisi. Seperti yang terjadi pada Latifah, meski tuna rungu dan tuna wicara ia tetap berniat untuk menjadi orang yang baik dan berguna. Saat membaca betapa putih hatinya, aku menjadi malu sendiri. Bagaimana dengan kita yang setidaknya sempurna secara fisik?
Hanya ada satu hal yang mengganggu mataku pada novel ini, yakni pada sampul novel tertulis “novel islami”. Dengan latar belakang pink ngejreng, tulisan tersebut tampak “terpaksa” ditempelkan. Menurutku tanpa label tersebut pun, setelah membaca para pembaca akan tahu itu, novel ini mengusung nilai-nilai spiritual keislaman. Meski tanpa selipan hadist ataupun ayat Al-Qur’an secara eksplisit.
Posting Komentar
Posting Komentar