Judul : Urang Banua di Banua Urang
Penulis : Randu Alamsyah
Penerbit : Minggu Raya Press
Tahun Terbit : 2011
|
Aku sedikit terkejut setelah membaca pengantar buku ini, pengantar yang disampaikan oleh Dewa Pahuluan, dedengkotnya komunitas MGR (Minggu Raya) ini ternyata membuka mataku bahwa don’t judge a book by its cover benar-benar berlaku dalam kasusku ini. Bagaimana tidak, cover buku ini biasa saja, tidak menarik hati(ku). Tapi ternyata isinya, seperti pada kata pengantar, sangat aku banget.
Ketertarikanku membaca buku ini pertama dari nama penulisnya, dia urang banua –sebutan bagi warga asli Kalimantan Selatan dan bersuku Banjar. Meskipun entah Randu, si penulis, bersuku Banjar atau tidak karena dari biodata yang kubaca di belakang buku beliau lahir di Manado. Tapi yang kutahu beliau memang bermukim lama di sini. Kedua, karena endorsernya menyebutkan bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan Randu di Radar Banjarmasin, sebuah koran lokal Kalimantan Selatan dimana beliau bekerja sebagai wartawan. Ketiga, karena sebelumnya aku pernah membaca novel Randu yang berjudul Galuh Hati dan novel tersebut lumayan berkesan di hatiku.
Setelah membaca pengantarnya, aku menyadari bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini memang berkualitas. Tulisan-tulisannya singkat namun jlebb. Beragam tema diusung dalam kolom khusus tiap minggunya yaitu Bilik Sunyi, sebelum dijadikan buku ini. Tema yang paling kugarisbawahi adalah tema tentang sastrawan Banua yang kekurangan perhatian dari pemerintah. Hiks.
Membaca buku ini seperti membaca sebagian isi pikiran Randu. Begitu transparan dan nyelekit. Setelah membaca keseluruhan isi bukunya, aku menyadari ada banyak lipatan yang kubuat untuk menandai paragraf atau kalimat yang menarik hatiku. Entah itu aku berarti setuju atau kalimat itu sangat tidak biasa dan aku baru mendengarnya sekali. Seperti pada dua potongan paragraf berikut.
“Kita dirikan lembaga-lembaga sosial, kemasyarakatan, HAM, agama, dan berteiak keras-keras demi hukum dan keadilan katakan tidak pada korupsi! Sambil diam-diam kita zikirkan dalam hati: kecuali saya kecipratan, kecuali saya kecipratan, …” (halaman 48)
“Sepak bola telah menempati hal-hal yang mestinya ditempati oleh agama dalam peta kejiwaan manusia. Para fans sepak bola bersedia memberikan seluruh energi romantiknya dengan kadar yang hanya seperselisihan rambut cinta pada sufi kepada Tuhan” (halaman 122)
Randu, dalam esai-esainya tersebut memosisikan diri sebagai orang kebanyakan, pelaku kekhilafan. Adalah tokoh protagonis namun malang yang sering ditulisnya, entah ada atau tiada sebenarnya -yaitu si Ustadz Marjinal. Randu menggambarkan “teman”nya tersebut dengan kalimat-kalimat seperti di bawah ini yang tertera pada halaman 42.
“Abad ini bukanlah milik orang-orang kayak teman saya itu. Ia dengan pandangan idealnya telah terlempar jauh. Zaman ini bukan milik orang-orang yang tidak praktis, tak prospektif, tak dinamis. Orang macam teman saya itu jumud, baku, mandeg. Tak heran ia tidak dikunjungi bakal calon pemimpin.”
“Ia memperhatikan borok-borok zaman kemudian menumpahkan dalam sunyi bilik bersama Allahnya, tempat dimana ia sandarkan kesepian sosialnya dan kesepian ekonominya yang benar-benar total.”
Ada satu tulisan bertema politik yang benar-benar relevan dengan suasana sekarang. Saat itu Randu menulisnya karena musimnya memang tidak jauh beda dengan kondisi saat ini, yaitu pesta demokrasi tahun 2010. Tulisan ini menjadi seperti lelucon ketika Randu menuliskan bahwa para calon pemimpin tersebut sangat berniat tulus untuk menyejahterakan rakyatnya. Sehingga ketika tidak terpilih, mereka berpikir lebih baik saya gila daripada tidak dapat menyejahterakan rakyat saya … (halaman 16).
Sedangkan Urang Banua di Banua Urang, yang merupakan salah satu judul dalam kumpulan esai ini, secara harfiah berarti seseorang bersuku Banjar berada di perantauan (banua urang). Ini esai paling menyedihkan dalam buku ini menurutku. Bagaimana tidak, tersebutlah ustadz kawan si Randu yang tetap keukeh bertahan mengabdi membagi ilmu agama di pulau kecil dan terpencil. Namun suatu ketika di tanah tersebut ditemukan emas di dalamnya, orang-orang yang mengaji di suraunya kemudian hilang satu-satu untuk ikut menggali tanah mereka sendiri, berharap mendapat bongkah-bongkah berkilauan tersebut. Tinggallah si ustadz yang secara ekonomi sangat memprihatikan karena tak pernah dililirik oleh pemerintah.
Yang punya pikiran kritis setengah idealis harus baca buku ini.
Posting Komentar
Posting Komentar