Judul : Jasmine
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit : 2013
|
Jasmine, ibarat sekuntum melati
yang tercampakkan. Dalam gersangnya kehidupan, keindahan parasnya jusru
mengandung luka. Dean, The Prince,
dedengkot jaringan Cream Crackers,
ibarat pangeran misterius dari kegelapan. Menebar petaka, meski begitu,
sejatinya masih tersisa sepenggal nurani di dalam jiwanya.
Mereka bertemu, dalam kerasnya
gelombang kehidupan. Dalam luka-luka yang perih. Namun, dalam badai yang gencar
mendera, cinta telah mendatangi mereka. Cinta yang membebat luka. Cinta yang
secara ajaib, justru mengajarkan mereka tentang putihnya nurani dan indahnya
cahaya.
**
Ibarat kopi, Jasmine adalah novel
dengan rasa sangat pahit. Komplikasi masalah dalam kehidupan Jasmine, si tokoh
utama, membuat novel ini begitu menyedihkan di mataku. Namun kepahitan itu
sendirilah yang membuat novel ini “beda” dengan novel lainnya. Dengan kompilasi
masalah antara human trafficking, cyber crime, dan HIV/AIDS novel ini menjadi
sangat “berisi”. Informasi yang terangkum secara singkat mengenai ketiga
permasalahan utama tersebut di sela-sela cerita mampu membuka mataku betapa
malangnya orang-orang yang mengalami hal tersebut dan beruntungnya aku, hidup jauh
dari masalah serupa.
Selain itu, penjelasan penulis mengenai
setting kota utama novel ini yaitu
Batam, sangat memukau. Tidak detail, tapi cukup memberi gambaran betapa kota di
Provinsi Kepulauan Riau tersebut cukup indah untuk dijelajahi. Ya, naluri
petualangku segera terpantik untuk mengunjungi Batam, kota yang katanya
mempunyai 2 matahari dan merupakan salah satu gerbang ke luar negeri.
Kelebihan lain dari novel ini
adalah pilihan katanya yang tidak biasa. Kaya diksi, sehingga harus membuat
pembaca yang tukang telaah sepertiku harus perlahan membacanya. Di sisi lain,
hal ini membuat novel ini menjadi cukup berat disamping beban tema yang
disandangnya.
Ada beberapa pilihan kata (yang
tidak biasa) yang menurutku terlalu sering muncul, misalnya “visual”.
Pertama-tama membaca, aku masih bingung apa makna harfiahnya. Tapi karena
frekuensi kemunculannya sering sehingga aku kemudian menyadari bahwa penulis
menggambarkan kata tersebut sebagai “mata”.
Dibandingkan dengan Hati Memilih -novel yang juga ditulis oleh Riawani Elyta, cerita romantis dalam novel ini terasa kurang. Dean dan Jasmine terlihat hanya
bertemu di saat-saat sulit. Hanya saja sub judul novelnya memang pas,
cinta mampu menyembuhkan luka. Aku berharap, di luar sana masih banyak
Jasmine-Jasmine yang lain yang mampu bangkit dari kelamnya dunia hitam.
Kekurangan kecil lainnya
menurutku adalah pemilihan beberapa judul bab yang kurang menarik. Misalnya
“Misi yang Mulai Terlaksana” dan “Pertemuan yang Gagal”. Ada pula judul bab
yang terlalu menggambarkan isi, misalnya “Kabur”. Di dalam bab padahal belum
dijelaskan mengenai kaburnya Jasmine tapi dengan membaca judul dan beberapa
masalah yang terjadi di dalam bab, membuat pembaca jadi mudah menebak bahwa
yang keluar mengendap-ngendap pada pagi hari di asrama adalah Jasmine, bukan
pencuri.
Terlepas dari secuil kekurangan
(dari sudut pandangku) di atas, novel ini memiliki banyak kelebihan. Tidak
heran jika novel ini terpilih sebagai Pemenang Lomba Menulis Inspiratif Indiva
Tahun 2010. Aku sendiri menyelesaikan membaca novel ini dengan cepat, karena
penasaran dengan cerita lanjutan setelah satu bab berlalu. Istilahku, novel ini
terkategori sebagai novel sekali duduk.
Posting Komentar
Posting Komentar