Judul : Lampau
Penulis : Sandy Firly
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit : 2013
|
Novel ini menceritakan tentang seorang
anak Suku Dayak Meratus bernama Sandayuhan. Ayuh, nama panggilannya, terlahir
dari seorang perempuan sakti bernama Uli Idang. Uli Idang adalah seorang balian
kampung di pegunungan Meratus. Kesaktiannya sebagai satu-satunya balian
perempuan terkenal ke seluruh penjuru gunung, sekaligus diiringi desas-desus tak
mengenakkan mengenai suami Uli Idang, ayah Ayuh.
Ayuh bukanlah seorang anak yang
pintar secara akademis. Kehidupannya lebih banyak dilingkupi oleh dunia mistis
dan perdukunan kampung. Meskipun begitu ia tetap bersekolah ke SD kampung di
bawah gunung, seperti lazimnya anak-anak yang berada di kampungnya. Namun setelah
lulus SD ia memutuskan untuk melakukan hal yang tidak lazim, yaitu melanjutkan
sekolah di kota.
Bagaimanakah jalan hidup Ayuh
selanjutnya, setelah ia “mengintip” dunia? Bagaimana ia bisa sampai di Jakarta
dan bertemu dengan dua gadis yang menarik hatinya? Satu diantaranya adalah
gadis berkepang dua miliknya di masa lalu. Lalu bagaimana pula akhir cerita
dari kisah-kasih orang tua Ayuh yang penuh teka-teki? Cerita sebagian yang Ayuh
terima dari Amang Dulalin, sepupu ibunya, membuatnya banyak bertanya dalam diam
selama ia mengembara.
Karena bagaimanapun, masa lalu akan selalu menyeruak, mencari jalan keluar(Kaled Hosseini).
Kekuatan novel ini menurutku terdapat
pada setting yaitu pegunungan Meratus, suku Dayak Meratus, dan budayanya. Penulis dengan lihai menuangkan mitos-mitos yang berkembang di pegunungan Meratus
menjadi sebuah cerita fiksi yang apik. Novel ini tepat dibaca oleh orang-orang yang
ingin mengetahui kehidupan suku Dayak Meratus dan Banjar, yang notabene hidup
bersisian.
Kelemahan novel ini menurutku
adanya beberapa logika cerita yang kurang masuk akal. Misalnya mengapa Sandayuhan
begitu cepat keluar dari pesantren hanya karena dituduh mencuri sedangkan
sebelumnya ia digambarkan sebagai seseorang yang berprinsip kuat. Alasan
mengapa ayah Ayuh pergi meninggalkan istrinya yang sedang mengandung pun
menurutku terlalu lemah. Betapa ringankah cintanya pada Uli Idang sehingga ketika dihembus gosip saja sudah terbang melayang. Beberapa kejadian juga digambarkan berlalu begitu
cepat. Seperti proses kehidupan Ayuh di rantau yang pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Pula proses ketika ia menulis dan berhasil menerbitkan
bukunya. Aroma perjuangannya kurang terasa.
Namun bagaimana pun, novel ini
tetap keren secara keseluruhan. Tidak banyak penulis yang mampu menceritakan budaya
secara rinci di sela-sela cerita fiksi yang ditulisnya. Selingan-selingan
cerita seperti kelakuan Amang Dulalin yang jatuh cinta dengan seorang bule
wanita gara-gara bekas poster celana jeans, membuat novel ini semakin “lezat”
untuk dinikmati.
Novel dengan ketebalan 345 halaman
ini mempunyai plot maju-mundur. Gaya bahasa penulis yang apik membuat novel ini
nyaman dibaca oleh penikmat diksi sepertiku. Sama seperti beberapa novel yang
bertema kehidupan anak desa yang merantau ke kota, novel ini memiliki pesan
tersirat bahwa untuk menggapai kesuksesan kita harus berusaha tanpa kenal
lelah.
Posting Komentar
Posting Komentar