Judul : Pukat Penulis : Tere Liye Penebit : Republika Tahun terbit : 2010 |
Kali ini Serial Anak-anak Mamak yang kubaca bercerita tentang si Pukat, anak yang pintar. Pukat adalah anak kedua dari pasangan Bapak Syahdan dan Mamak Nur. Ia dijuluki si pintar karena seolah tahu jawaban dari semua pertanyaan, pantaslah jika di kemudian hari ia berhasil menjadi seorang peneliti.
Lain halnya dengan Burlian yang selalu membuat ulah, Pukat adalah seorang anak laki-laki yang lebih kalem dan berpikir panjang. Meskipun begitu, dalam beberapa hal ia juga kompak dengan Burlian. Sifat buruknya juga tergambar dalam beberapa kejadian. Misalnya ketika ia berolok-olakan dengan temannya si Raju hingga sampai saling tak menyapa berminggu-minggu.
Pula ketika ia menjadi saksi atas sebuah masalah, ia yang berkoar-koar hingga Pak Bin menasihati bahwa mulut adalah pipa pembuangan terkotor. Karena kita dengan senang hati akan memakan bangkai teman sendiri (baca: menggunjing). Dan tentu saja pada setiap buku juga terdapat bab khusus cinta mamak kepada anak-anaknya yang bandel, kali ini Pukat menurutku jauh lebih keras kepala daripada Burlian.
Namun kebaikan universal yang sejak dini ditanamkan di keluarga Pak Syahdan mampu membuat semua anak-anak mamak, termasuk Pukat dengan cepat menyadari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan mereka bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan oleh seorang anak kecil seperti Pukat juga terkadang jauh berdampak positif daripada kebaikan besar yang dilakukan oleh orang dewasa tapi berharap balas jasa. Simak saja ceritanya pada cerita Kaleng Kejujuran. Oi, betapa aku rindu masih ada anak-anak seperti Pukat dan teman-temannya hari ini.
Di dalam buku ini juga tergambar kearifan lokal nenek moyang kita, tergambar pada bab-bab Petani Adalah Kehidupan. Selain memperlihatkan pada Pukat dan Burlian betapa panjangnya perjalanan sebutir nasi, proses pembukaan hutan hingga panen juga menunjukkan pada kita bahwa cara-cara tradisional tidak akan merusak alam. Bahkan para penduduk desa tahu persis bagaimana menyeimbangkan alam, mereka hanya mengambil sedikit sesuai kebutuhan mereka. Tidak serakah, seperti masyarakat kota nan modern.
Adalah Wak Yati, kakak tertua Bapak yang pintar Bahasa Belanda. Ia sering memberi teka-teki kepada Pukat, dan Pukat juga selalu bisa menjawabnya dengan berbagai cara. Kali terakhir Wak Yati memberikan teka-teki, Pukat bahkan hanya mampu menjawabnya di atas pusara wawak yang ia sayangi tersebut. Ia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan jawabannya. Tak terpikirkan olehnya sebelumnya, bahwa sejatinya seluruh kehidupan masa kecilnya adalah tentang teka-teki Wak Yati yang satu ini.
Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok, hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak berbilang. Maka manakah harta karun yang paling berharga?
Posting Komentar
Posting Komentar