Judul : Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun terbit : 2014
|
Membaca judulnya, Mei Hwa, tentu kita
akan mencium bau-bau chinese dalam
novel ini. Apalagi ada “penampakan” lampion berwarna ungu perlambang
kebangsawanan di sampulnya. Ya, Mei Hwa memang seorang gadis berdarah tionghoa. Dia memiliki keberuntungan hidup
yang berlimpah. Orang tua dan saudara-saudara laki-laki yang sayang padanya,
kemapanan harta keluarga, kecerdasan otak, dan kecantikan fisik yang didambakan
setiap gadis pada zamannya. Sayangnya, ia hidup di zaman yang salah. Di zaman ketika
etnisnya dianggap musuh oleh pribumi.
Dengan tebal 368 halaman, novel ini
sangat apik merangkum cerita dan sejarah dalam rentang waktu dari tahun 1936
hingga tahun 1999. Hingga pantaslah kalau si tokoh kedua, Sekar Ayu disebut
sebagai Sang Pelintas Zaman.
Ada beberapa kata yang terdengar sangat scientist dalam novel ini, seperti
katarsis dan neuron. Ini mungkin dipengaruhi oleh latar belakang penulis yang
latar pendidikannya juga scientist. Meskipun terkesan "maksa" untuk
ukuran novel yang berbalut sejarah, istilah-istilah tersebut menjadikan ragam
bahasa yang digunakan semakin kaya, karena selain nyastra juga ada banyak
istilah-istilah dalam Bahasa Jawa.
Penggambaran bagaimana orang yang
terganggu kejiwaannya pun menurutku digambarkan baik oleh penulis. Bagaimana
ternyata orang sakit jiwa itu melihat dirinya yang bisa berubah wujud menjadi
burung kutilang, elang, atau bahkan kera sakti!
Membaca novel ini perlu kefokusan yang
tinggi. Karena alurnya yang cepat dan perpindahan waktu dari zaman pra-kemerdekaan
ke zaman reformasi berganti-ganti pada setiap bab. Jadi berasa main
lompat-waktu. Deuuh. Perjalanan ceritanya juga sangat panjang. Sampai ke Negeri
Sakura segala. Kalau novel ini dijadikan film, pasti seru.
Kekurangan novel ini dari segi cerita menurutku
adalah tidak diceritakannya bagaimana kabar kakek-nenek Sekar Ayu dari pihak
ibunya pasca kedatangan tentara Jepang. Jika bagian ini diceritakan,
kemungkinan perubahan plot bisa saja terjadi. Kehidupan Sekar Ayu mungkin tak
segetir yang ada di novel ini. Hiks, *efek terlalu menghayati.
Buku ini cocok dibaca oleh orang yang suka
maupun tidak suka sejarah. Melalui novel ini, sebagian pelajaran sejarah Indonesia
bisa terangkum dengan baik. Entah mengapa, kebetulan aku membaca novel ini juga
di rentang waktu 30 September yang notabene adalah hari G30S-PKI yang juga merupakan
salah satu poros sejarah dalam novel ini.
Pesan moral yang bisa kuambil dari novel
ini adalah betapa perbuatan jahat manusia bahkan belum di akhirat, di dunia pun
kita sudah menerima balasannya. Meski itu dalam bentuk sebab akibat atau karma.
Itu pesan terpenting novel ini menurutku, amanat-amanat lain tentunya juga banyak.
Kamu harus membaca sendiri untuk mendapatkannya.
Posting Komentar
Posting Komentar