Judul : De Winst
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun terbit : 2008
|
Usai
menamatkan sarjana ekonomi dari Universiteit Leiden, RM Rangga Puruhita kembali
ke Hindia Belanda, untuk mempraktekkan ilmu yang ia miliki demi kemajuan para
pribumi. Akan tetapi, berbagai hal pelik harus ia hadapi. Mulai dari perjodohan
paksa dengan Rr. Sekar Prembayun yang sulit ia lepaskan, hingga permasalahan
ketidakadilan yang dialami para buruh pabrik gula yang digaji sangat rendah. Haru
biru cintanya dengan Everdine Kareen Spinoza, seorang Belanda totok pun
ternyata terancam kandas.
Lantas,
muncul Kresna, pemuda misterius yang mengaku kekasih Rr. Sekar Prembayun.
Dengan sikapnya yang berandalan dan cenderung kurang ajar, Kresna justru memprovokasi
Rangga untuk bangkit melawan imperialisme Belanda. Bersentuhan ideologis dengan
Kresna dan Sekar Prembayun, ternyata justru memunculkan benih-benih simpati
Rangga kepada perempuan yang telah dijodohkan dengannya sejak kecil itu.
Akankah Rangga memilih Sekar Prembayun sebagai pasangan hidupnya? Lantas,
bagaimana dengan Everdine Kareen Spinoza? Apakah Rangga juga harus mengkhianati
Kresna?
***
Ini adalah salah satu novel sejarah yang
aku tak bosan membacanya. Bagaimana tidak, jalinan ceritanya seperti nyata,
paduan yang apik antara fakta sejarah dan imajinasi penulis. Itu adalah salah
satu kekuatan novel ini menurutku, penulis mampu meyakinkan pembaca bahwa
cerita dalam novel ini sungguh terjadi. Seakan penulis memang pernah hidup di
di zaman pra-kemerdekaan, setting waktu dalam novel ini.
Dengan tebal buku 336 halaman, penulis
mampu merangkum peristiwa-peristiwa penting sekitar tahun 1930-1931 dengan
Surakarta sebagai daerah yang paling mendominasi setting tempat dalam novel
ini. Selain itu, selipan silsilah keluarga kerajaan di Jawa yang sedang
berkuasa saat itu juga merupakan informasi yang memperkaya wawasan sejarahku. Latar belakang
penulis yang memang menyukai sejarah sepertinya ikut mewarnai novel ini. Kelihatan
sekali novel ini ditulis dengan sepenuh hati.
Tema utama novel De Winst ini adalah
tentang bagaimana keadaan Indonesia ketika Belanda berkuasa. Di novel ini
digambarkan bagaimana sikap penjajah Belanda yang semena-mena dengan inlander –warga negara Indonesia yang
dulunya bernama Hindia Belanda. Sikap para nederlander
–warga negara Belanda, ini terutama sangat terlihat pada bumiputera yang miskin dan berpendidikan. Bahkan pada anak bangsawan
atau pun para bumiputera yang berhasil sekolah, Belanda tetap menganggap bahwa inlander adalah warga golongan kelas
tiga di dunia.
Amanat terselip yang ingin disampaikan
penulis yaitu bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak terletak pada kekayaan sumber
daya alam, tetapi terletak pada pendidikan yang maju. Selain itu, kegigihan
para pejuang Indonesia pada masa penjajahan harus kita hargai.
Besar sekali risiko yang mereka hadapi untuk mendapatkan kemerdekaan,
diantaranya adalah dibuang ke pulau terpencil yang masih terisolir dengan dunia
luar. Tidak salah sepertinya jika novel ini disebut sebagai novel pembangkit idealisme.
Namun melihat cita-cita yang sangat
mulia dari para pendahulu kita, aku jadi risih sendiri. Pemuda zaman sekarang
jangankan memperjuangkan nasib bangsa, yang peduli dengan lingkungan sekitar
saja masih sedikit. Mereka (atau mungkin termasuk aku?) terlalu sibuk dengan
dunia mereka sendiri. Hiks.
Cara penyampaian penulis yang mengalir
membuat pembaca sangat menikmati novel ini Dibandingkan dengan novel sejarah
yang pernah kubaca sebelumnya, seperti Mei Hwa dan Adriana, novel ini jelas
lebih berat. Diperlukan riset yang tidak sembarangan untuk membangun setting yang bisa “dipercayai” pembaca
seperti pada novel ini. Tidak heran jika novel ini disebut sebagai karya terbaik dari seorang Afifah Afra.
Kekurangan dari novel ini menurutku ada
pada karakter Sekar dan Kresna. Bahwa mereka berdua adalah satu orang sudah
terbaca sejak awal. Sehingga efek surprisenya
tidak terasa ketika Sekar mengaku bahwa ia adalah Kresna. Kalimat yang
membuatku langsung curiga terdapat pada halaman 51. Ada sedikit senyum congkak di sudut bibirnya yang indah –terlalu indah
untuk seorang lelaki. Kalimat yang sama pun diulang kembali pada halaman
68. Tawa Rangga hampir meledak mendengar
sapaan “anak muda” yang keluar dari bibir indah –terlalu indah untuk seorang
laki-laki itu. “Petunjuk-petunjuk” yang lain juga terdapat di beberapa bab
yang lain. Sayangnya juga setelah pengakuan Sekar, tidak dijelaskan meskipun
sekilas bagaimana caranya Sekar yang dijaga ketat dalam keraton bisa seenak
jidatnya beralih peran sebagai Kresna yang berkeliaran dengan santai.
Selain itu, dari segi cerita menurutku
ada yang terlewat, yaitu bagaimana reaksi Ibunda Rangga yang mengetahui
ternyata suaminya, KGPH Suryanegara, yang ia sangka setia tersebut ternyata
mempunyai seorang anak –haram, dengan wanita lain. Keputusan Rangga untuk menikah
dengan Kareen Spinoza juga cukup mengejutkan bagiku. Terlalu cepat.
Kekurangan teknis dari novel ini -yang kubaca terletak pada halaman
peralihan antara halaman 73 dan 74. Ada kata atau kalimat yang hilang. Hal ini
mungkin dikarenakan adanya penempatan foto yang ada di halaman 73. Well, meskipun ini hanya masalah tata
letak tapi tetap mengganggu karena ada sedikit
informasi yang terlewat. Beruntung, bagian yang terkena bukan bagian inti
dari bab tersebut.
Oya, dari tata bahasa novel ini cukup
banyak memuat istilah-istilah asing terutama dari Bahasa Belanda dan juga
istilah-istilah dalam Bahasa Jawa. Kekurangan novel ini, tidak
adanya catatan kaki tentang arti kata-kata tersebut pada kemunculan pertamanya
dalam teks. Meskipun kalau dihubungkan dengan konteks, arti kata-kata tersebut sedikit-sedikit
bisa dipahami.
Posting Komentar
Posting Komentar