Judul : Kesturi dan Kepodang Kuning
Penulis : Afifah Afra
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: 2013
|
Di gubuk tua peninggalan ayahnya di tepi
hutan, Sriyani mencoba membangun kembali kehidupannya yang porak poranda.
Bersama bayinya, Kesturi, mereka melebur dalam harmoni alam. Termasuk menjalin
persahabatan yang indah dengan kepodang-kepodang yang rajin mendatangi gubuk
mereka.
Persahabatan mereka menyedot perhatian
Satrio, seorang peneliti sekaligus pecinta alam. Lelaki berhati lembut itu
menyelusup dalam kehidupan mereka dan diam-diam mendentingkan kembali harapan di
hati Sriyani. Akan tetapi, haraapan Sriyani nyaris terenggut oleh dua hal
sekaligus; sesosok jelita yang selalu ditatap Satrio dengan penuh kekaguman,
dan sebuah proyek pembangunan beraroma korupsi. Harmoni itu pun terancam pecah
berkeping-keping.
**
Novel ini kombinasi antara tema
lingkungan hidup, budaya, dan dunia politik. Setting yang dibangun terdapat di
desa tepi lembah, kehidupan manusia yang harmonis dengan alam. Dengarkan saja tembang yang dinyanyikan oleh Sriyani setiap hari ini, menggambarkan betapa persahabatan manusia dengan alam itu sangat manis.
K’podang
kuning
Ayo
mabur, dolan kene
Bareng
bocah ayu
Kinyis-kinyis
duh Kesturi
Ayo
mabur bareng karo widodari
Novel ini relatif ringan karena bisa
dibaca sekali duduk namun sarat pesan. Pesan yang bisa diambil dari novel ini
adalah bahwa keambisiuan jika tidak dibarengi dengan perilaku yang baik maka
tidak akan berhasil baik. Hal ini terlihat pada tokoh Rajendra.
Selain itu, dalam novel ini juga
digambarkan bahwa dunia politik tidak ada yang benar-benar bersih. Aku bergidik
ngeri membayangkan betapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin
terpuruk sekaligus bersama kebodohan.
Dari segi cerita, novel dengan ketebalan
312 halaman ini cukup menarik. Tokoh sentral kakak-beradik Satrio dan Rajendra
yang bertolak belakang pemikiran dan kehidupan mereka membuat konflik terasa
sangat runcing. Selain itu, tema lingkungan hidup yang diangkat oleh penulis
mempunyai pesan tersirat betapa alam sebenarnya selama ini telah banyak memberi
berkah pada manusia, hanya saja manusia terlalu tamak akan
kenikmatan-kenikmatan lain yang didapat dengan cara kotor.
Latar belakang penulis yang merupakan
sarjana sains biologi sepertinya memberikan andil yang cukup besar dalam
penulisan novel ini. Wawasan lingkungan hidup dan istilah-istilah biologinya
terasa kental dalam novel ini.
Setelah aku selesai membaca semua
cerita, aku agak lama baru bisa menafsirkan kalau pada cerita pembuka yang
bertemu itu adalah Rajendra dan Erlangga. Sedangkan yang dimaksud dengan Kepodang adalah proyek pembangunan dan Apel adalah uang. Tapi pertemuan itu
kapan? Sedangkan Erlangga dan Rajendra tidak berada dalam satu kota, tapi
mereka berdua sama-sama membawa mobil pribadi mereka. Pak Min juga pada
cerita-cerita selanjutnya juga tidak diceritakan bahwa Rajendra memiliki supir.
Ending
yang happy membuat novel ini semakin
manis saja. Sedikit kekurangan terdapat pada sampulnya kurasa, seandainya lembah
tempat Sriyani tinggal atau siluet burung kepodang digambarkan di sampul, maka cerita
di dalam novel mungkin akan terasa lebih hidup.
Posting Komentar
Posting Komentar