Novel ini merupakan lanjutan dari novel Lampau yang sekitar satu tahun lalu kubaca. Kali ini isinya bercerita tentang Ayuh, sang tokoh utama yang pulang kampung karena ibunya sakit -lalu meninggal dunia. Dia perlu waktu untuk menenangkan diri di kampung sebelum kembali menyambung hidup di kota. Tak disangka rentetan kejadian di kampungnya membuat keberangkatannya tertunda lebih lama dari yang ia bayangkan.
Dalam buku ini juga diceritakan tentang kepastian tentang cinta sejati Ayuh yang awalnya terbagi menjadi dua. Meskipun aku masih kurang yakin, karena bisa jadi novel lanjutan akan muncul lagi setelah ini. Mengingat tokoh ayah belum muncul sejak buku pertama.
Judul: Catatan Ayah tentang Cintanya kepada Ibu Penulis: Sandy Firly Penerbit: Gagas Media Tahun terbit: 2015 |
Ada beberapa tokoh baru dalam kisah Ayuh yang ditulis oleh Sandi Firly -asal Kalimantan Selatan ini, diantaranya yaitu Radam, Juntang, dan Katuy. Katuy sebenarnya pernah disinggung dalam novel pertama, namun tidak terlalu banyak diceritakan. Hingga di novel kedua ini ia merupakan orang yang kemunculannya amat tidak disukai Ayuh. Ya, tokoh Katuy memang berhubungan erat dengan dendam masa silam orang tuanya. Namun dari beberapa tokoh baru tersebut, Radamlah yang menarik perhatianku. Pertama karena nama Radam di daerahku adalah nama seorang (semacam) nenek moyang atau biasa yang disebut Datu. Kedua karena dikisahkan dalam novel ini bahwa pekerjaannya adalah berburu anggrek di belantara pegunungan Meratus. Selain itu, karakternya sendiri cool digambarkan oleh penulisnya.
Sedikit kekurangan yang terdapat dalam buku ini menurutku terdapat pada halaman 261. Mungkin hanya karena faktor kekurangtelitian saja. Pada satu paraghraf dituliskan bahwa Ayuh masuk ke dalam WARNET untuk menelepon Ranti. Bukankah seharusnya ia menuju ke WARTEL untuk menggunakan fasilitas telepon umum? Kecuali warnetnya juga menyediakan fasilitas telepon. Entahlah. Ini hanya sedikit koreksi dariku sebagai pembaca. Kekurangan lain yang kudapati juga terdapat pada khayalan Genta sebagai ayah Ayuh dalam catatannya pada halaman 266-271, entah aku yang kurang imajinatif atau memang khayalan Ayuh yang ketinggian. Sebuah telaga dan sebuah rumah seorang penulis novel di tepi yang berlawanan dengan rumahnya. Itu membingungkan bagiku yang sudah terlanjur menikmati khayalan tentang rumah berloteng di tepi sungai dalam hutan dan dihuni bersama istri tercinta, seperti yang dituliskan sebelumnya.
Satu hal yang kusukai dari novel ini yaitu pesan moral bahwa seburuk apapun keadaanmu saat ini, jangan takut untuk bermimpi tinggi. Hal ini dibuktikan oleh tokoh Amang Dulalin yang meraih mimpinya setelah belasan tahun hanya memandang mimpinya melalui sebuah poster, peta, dan mengembara lewat buku-buku.
Amanat lain yang disampaikan penulis melalui novel ini adalah agar kita, seluruh lapisan masyarakat peduli dan menjaga lingkungan. Adalah kecemasan bersama jika hutan yang menjadi paru-paru kehidupan manusia rusak akibat keserakahan sebagian golongan saja. Di halaman 297-298 novel ini, terdapat kutipan syair seorang Burhanuddin Soebely, penyair asal Kandangan yang menggambarkan keresahan para pecinta lingkungan.
"Awas jangan papas hutan kami
Jangan ganggu sorga kami
Aku ada di sukma burung, di sukma gunung
Aku ada di sukma bayu, di sukma kayu
Aku ada di sukma batu, di sukma datu
Mengintai selalu!"
Sangat direkomendasikan sebelum membaca novel ini, sebaiknya membaca novel pertamanya terlebih dahulu. Agar tidak terjadi missing link. Secara keseluruhan aku memberi 3 dari 5 bintang untuk novel ini.
Posting Komentar
Posting Komentar