Petualangan
dimulai jam 8 pagi hari Kamis, tanggal 5 Mei 2016. Setelah berangkat dari
rumah, sekitar 5 km di jalan kami baru ingat kalau jas hujan dan tali untuk
mengikat barang ketinggalan. Oh adalah kesalahan besar jika bepergian ke alam
terbuka seperti ini meninggalkan jas hujan. Mau balik ngambil kepepet sekali karena
kami sudah ditunggu anak-anak.
Sampai
di sekolah semua personel sudah berkumpul. Setelah mengatur segala macam
perbekalan kami langsung berangkat. Ada 7 sepeda motor dalam kelompok traveling
kami, masing-masing dengan dua penumpang kecuali 1 motor yang sendiri. Dari
Birayang kami berbelok ke Desa Paya, masuk ke Batali kemudian belok lagi berturut-turut
ke Desa Pantai Batung, Taal, Mangunang, Haruyan, Mu’ui, terus menanjak ke
daerah wisata Loklaga. Istirahat sebentar di sana kemudian kami melanjutkan
perjalanan di jalan yang mulai menyempit dan berkelok naik turun tapi masih
mulus melewati Desa Sungai Harang, Desa Batu Panggung, lalu masuk ke Desa
Kindingan. Sejak Desa Kindingan jalan mulai berlubang-lubang tapi masih
beraspal.
Perbatasan HST dan HSS |
Karena
sama-sama belum pernah ke arah sana, hanya mengandalkan petunjuk dari seorang
teman suami kami tiba-tiba dikejutkan oleh putusnya jalan beraspal. Aku sendiri
hanya pernah sampai di Desa Batu Panggung saat pengambilan sampel. Beruntung di
perbatasan jalan beraspal dan jalan tanpa aspal plus becek tersebut ada orang
yang bisa kami tanyai. Katanya sih panjang jalan tanpa aspal ini sekamir 1,5 km
dan bisa kok dilewati dengan catatan penumpang harus jalan kaki. Di ujung jalan
ini kami akan langsung sampai ke Loksado kata orang tersebut. Wah dekat sekali
ya ke Loksado lewat jalan pintas ini, pikir kami.
Belum
tahu saja kengerian yang menyambut kami di jalan pintas tanpa aspal ini. Sebenarnya
kami sudah berasa ngeri awalnya karena ada bapak-bapak yang mengangkut kayu dan
terjatuh di depan mata kami karena tanjakan jalan tanah liat yang becek. Oh ya
kemungkinan area jalanan beraspal ini adalah milik Kabupaten Hulu Sungai
Selatan karena terdapat gapura perbatasan ke arah Desa Kindingan dan secara
administratif masuk ke dalam Kec. Hantakan Kab. Hulu Sungai Tengah. Wah,
padahal dari sana kayaknya lebih dekat ke Kec. Haruyan. Lagipula desa
sebelumnya yang kami lewati yaitu Desa Batu Panggung termasuk ke dalam Kec.
Haruyan.
Welcome, jalan tanpa aspal! |
Kembali
ke petualangan kami, di jalanan tak beraspal inilah ternyata petualangan kami
baru benar-benar dimulai. Dengan ransel dan barang bawaan masing-masing
personel yang tak bisa dibilang ringan, kami pun menembus jalanan becek ini. Kami
yang cewek-cewek jalan kaki sambil mengangkut barang yang bisa kami jinjing.
Wahh, ternyata jalanannya tak bisa dianggap enteng meskipun jaraknya hanya sekitar
1 km lebih namun inilah medan terberat dari perjalanan yang harus kami lalui.
Jalanannya menurun, beberapa sangat curam dan tentu saja licin dan becek. Motor
kami yang hampir semuanya matic kebanyakan tersangkut di dalam lubang alur
sepeda motor yang sebelumnya lewat. Para cowok saling membantu untuk
mengeluarkan motor-motor yang terjebak.
Setelah mulai sedikit bosan berjibaku dengan licinnya jalanan, kami dihadapkan dengan jalanan aspal melintang di depan kami. Yeaay, kami bersorak kegirangan. Apalagi suamiku yang mulai mengenali daerah dimana kami “muncul”. Ini sudah dekat sekali dengan lokasi wisata Loksado yang akan kami tuju katanya, setelah kuhitung menggunakan spedometer ternyata hanya sekitar 7 km dari muara jalan pintas tersebut ke pintu gerbang lokasi wisata loksado. Wah, ternyata jalan pintas kami sangat efektif memperpendek jarak. Boleh kukatakan bahwa ternyata Loksado terletak di belakang Kota Barabai, tepatnya di belakang pegunungan Barabai daerah Hantakan. Well tapi memang secara umum pegunungan di Kalimantan Selatan itu bersatu dalam jejeran pegunungan Meratus.
Kakiku pun ikut terjebak di jalanan berlumpur |
Setelah mulai sedikit bosan berjibaku dengan licinnya jalanan, kami dihadapkan dengan jalanan aspal melintang di depan kami. Yeaay, kami bersorak kegirangan. Apalagi suamiku yang mulai mengenali daerah dimana kami “muncul”. Ini sudah dekat sekali dengan lokasi wisata Loksado yang akan kami tuju katanya, setelah kuhitung menggunakan spedometer ternyata hanya sekitar 7 km dari muara jalan pintas tersebut ke pintu gerbang lokasi wisata loksado. Wah, ternyata jalan pintas kami sangat efektif memperpendek jarak. Boleh kukatakan bahwa ternyata Loksado terletak di belakang Kota Barabai, tepatnya di belakang pegunungan Barabai daerah Hantakan. Well tapi memang secara umum pegunungan di Kalimantan Selatan itu bersatu dalam jejeran pegunungan Meratus.
Sebelum
menuju Loksado. Kami terlebih dahulu menuju objek wisata Taman Pemandian Air
Panas Tanuhi. Hanya melihat-lihat tidak sampai masuk ke dalam karena memang
itinerary kami tidak kesana, karena kalau kesana minim tantangan. Haha, sombong
betul yak. Btw, aku sendiri memang sudah pernah ke sana saat napak tilas tahun
2010 lalu. Kolam air panasnya memang mantap untuk merelaksasi tubuh yang capek.
Dari Tanuhi kami bertolak menuju Loksado. Di perjalanan kami melewati area
buper pramuka HSS yang sedang ramai karena sedang ada perkemahan yang
dilaksanakan oleh DKC setempat.
Sampai
di lokasi, kami tidak serta merta mampir di keramaian para turis yang berwisata
yaitu dimana biasanya bamboo rafting
dimulai. Ya, di Sungai Amandit bagian hulu Loksado. Oya, disana aku melihat
spanduk tentang acara Loksado Festival tanggal 7-8 Mei. Oh tidak beruntungnya
aku, kami kesini tanggal 5-6 Mei tepat sebelum acara tersebut berlangsung. Tapi
tidak mengapa karena pengalaman yang kudapatkan saat traveling kemarin pun
sungguh keren meski tanpa ikut festival.
Kami
kemudian menuju Desa Malaris/Loklahung untuk survey lokasi perkemahan. Disini kami
melewati Balai Adat Malaris yang sangat besar. Sayang tempatnya tidak dihuni
lagi sekarang. Tahun 2008 ketika suamiku kesana katanya balai adat tersebut
masih dihuni oleh keluarga besar Suku Dayak. Mungkin kalau aku tidak salah
hitung bisa sampai 50 KK disana bisa tinggal, dilihat dari jumlah kamarnya sih.
Saat ini mungkin balai adat tersebut hanya digunakan untuk upacara adat Suku
Dayak setempat. Hal ini dapat terlihat dari ornamen di tengah-tengah ruangan
yang sepertinya adalah padi kering sisa upacara untuk mensyukuri hasil panen
padi mereka.
Balai informasi Malaris |
Sampai
di depan balai informasi desa kami berhenti dan bertanya apakah diizinkan untuk
berkemah di lokasi yang sebelumnya pernah digunakan oleh suamiku dan
teman-temannya dulu. Pihak desa mengizinkan namun suami dan dua cowok lainnya
survey terlebih dahulu ke lokasi. Balik survey mereka mengatakan bisa saja kami
berkemah disana. Namun suamiku bilang padaku kalau suasana disana sepertinya
kurang nyaman, seperti ada atmosfir makhluk halus. Well, disana hal-hal seperti
itu memang lumrah dijumpai. Lagipula katanya saat survey kesana tadi ada ular
besar yang menghadang perjalanan mereka, beruntung ada yang melihat dan mereka
berhasil menghindar sehingga tidak terinjak ular tersebut.
Apakah kami jadi menginap di tempat angker tersebut? Kemanakah destinasi kami selanjutnya untuk meneruskan petualangan selama 32 jam ini? Baca cerita selanjutnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (II).
Posting Komentar
Posting Komentar