Baca cerita sebelumnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (I)
Agenda kami selanjutnya setelah survey lokasi perkemahan adalah menjajaki Air Terjun Haratai, air terjun paling kondang yang terdapat di Loksado. Barang-barang kami titip di balai informasi Desa Malaris, kesampingkan dulu masalah tempat kemping. Kami menuju Air Terjun Haratai dengan menggunakan sepeda motor. Arahnya menuju keluar pintu gerbang area wisata Loksado namun belok kanan saat di jembatan lalu berkelok mengikuti jalan, di pertigaan kami belok kanan. Nah disinilah dejavuku dimulai. Saat aku melihat SD Loksado aku merasa pernah menginap di tempat ini waktu napak tilas tahun 2010, ya tepat 6 tahun yang lalu karena napak tilas memang selalu dilaksanakan di bulan Mei.
Foto bareng di depan pintu gerbang Air Terjun Haratai |
Trek
menuju Air Terjun Haratai bisa dilewati dengan menggunakan sepeda motor, namun
tentu dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Aku lupa menghitung berapa kilometer
dari gerbang Desa Haratai menuju air terjun tersebut. Sekitar 8 km mungkin. Selain
pakai sepeda motor, banyak juga yang memilih untuk berjalan kaki. Bisa jadi
karena ke Loksadonya menggunakan transportasi mobil atau bus. Dua orang bule
yang kami lihat sebelumnya naik pickup
menuju loksado ternyata juga berjalan kaki menuju Air Terjun Haratai. Anak-anak
langsung ribut dan antusias untuk berfoto dengan bule. Zamanku sudah lewat,
dulu sering juga begitu sama teman-teman saat ketemu bule di tempat wisata. Haha.
Ke
lokasi air terjunnya sendiri tidak bisa menggunakan sepeda motor juga sih.
Harus jalan dari parkiran sekitar 1 km. Sampai di lokasi waktu menunjukkan
pukul 13.00. Lapar, jadilah kami makan pop mie dulu. Alamak nikmatnya makan mie
di tengah udara sejuk loksado dengan suguhan pemandangan Air Terjun Haratai pula.
Tapi sialnya aku tak berhati-hati saat mengecap kuah mie sotoku. Airnya panas
banget dan lidahku rasanya terbakar hingga 2 hari kemudian. Oh my, rupanya ini
adalah “jebakan batman” di balik indahnya Air Terjun Haratai karena ternyata
suami dan temanku pun kena juga.
Hasil fotonya ga maksimal ya? Ini gegara derasnya percikan air terjun di belakangku |
Satu
jam kemudian kami balik, di sepanjang perjalanan pulang itulah aku sibuk mengkhawatirkan bensin yang sudah sekarat.
Ohh. Satu-satunya orang yang jual bensin di tengah belantara Haratai malah
tidak ada di tempat, padahal bensinnya ada. Alhamdulillah kami bisa sampai ke
desa sebelum bensinnya habis. Sekalian mampir ke masjid, kami mengisi bensin
dan belanja ransum untuk makan malam dan sarapan besok pagi. Hanya mie instan
dan telur sih sebenarnya. Haha.
Oya
saat menuju Haratai kami melihat area landai di salah satu tepi sungai tepat di
samping SD Loklahung. Suamiku kemudian mengusullkan kalau kami berkemah disana
saja. Semua setuju. Jadilah saat pulang dari Haratai kami survey dan ternyata
tempatnya aman dan cocok untuk mendirikan tenda. Para cowok kemudian menuju Desa
Malaris untuk mengambil tas. Kami yang cewek bersiap untuk memasak dengan bahan
yang tersedia. Syukurlah aliran air sungai sangat dekat dengan lokasi
perkemahan kami. Ini sangat membantu. Lagipula kami juga tidak terlalu
terpencil dari peradaban. Tak jauh dari lokasi kami terdapat jembatan besi yang
menghubungkan Desa Loklahung dengan Desa Loksado. Tak terhitung berapa
banyaknya kami melihat turis domestik yang berjalan melewati jembatan tersebut
untuk berwisata ke Desa Loklahung. Fyi,
akses mobil terputus sampai sebelum jembatan saja.
Prewedding shoot di balai dekat Air Terjun Haratai |
Kami
membangun dua tenda. Satu untuk cewek di teras SD dan untuk cowok di bawah
pohon dekat tungku api. Belum selesai memasak, hujan datang dengan sangat
lebat. Hiks, kami lupa mengamankan kayu bakar pula. Jadilah kami hanya bisa
berteduh di teras SD sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan reda beberapa
cowok membeli kayu untuk memasak. Apa mau dikata karena kayu basah tak bisa
digunakan untuk menghidupkan api. Eh ternyata tak ada kayu bakar yang dijual
disini, yang ada hanyalah kayu manis yang memang merupakan komoditi utama
daerah sini. Harganya? Tentu lebih mahal, karena dihitung per kg. Aroma dari kayu
manis yang terbakar khas aroma masakan tradisional. Jadi tambah lapar.
Malam
tiba, acara memasak sudah selesai kami pun makan dengan peralatan seadanya. Piring
yang kami gunakan adalah daun pisang. Alami banget. Selesai makan dan
beres-beres, tak ada yang bisa dilakukan oleh para cewek selain rebahan dalam
tenda. Kalau cowok-cowok mereka punya acara sendiri: main kartu.
Aku tertidur jam
setengah 9 malam dalam keadaan capek dan ngantuk. Pukul 4 subuh aku terbangun
untuk menyelinap masuk ke dalam sleeping bag. Boleh dikatakan untuk ukuran
perkemahan tidurku sukses dan lelap.Bagaimana cerita kami selanjutnya? Masih ada 9 jam petualangan setelah aku terbangun pagi. Baca selengkapnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (III).
Posting Komentar
Posting Komentar