Sebenarnya ini bukan pengalamanku mendaki Gunung Merapi. Karena aku sama
sekali belum pernah menginjak puncak gunung terkenal di Jogja tersebut. Waktu
itu berawal dari rasa penasaranku dengan cerita tentang (alm) Mbah Maridjan yang
meninggal saat Gunung Merapi meletus, maka aku mengajak temanku yang kuliah di
Jogja untuk menemaniku kesana. Aku mengajak satu orang teman SMA-ku dan dia
mengajak dua orang temannya juga. Jadi berlima kami bersepeda motor menuju
Merapi.
Jalan terus menanjak ketika kami mengarahkan sepeda motor kami ke arah
utara Kota Yogyakarta. Lama kelamaan kami mulai memasuki perkampungan. Saat itu
hujan gerimis sehingga kondisi jalan basah dan kami harus berhati-hati karena
jalan jadi licin. Sesampainya di kaki Gunung Merapi kami disuguhi pemandangan
yang indah sekali. Meskipun saat itu cuacanya mendung, tapi puncak Merapi
terlihat sangat jelas karena jaraknya yang dekat. Terdapat sedikit kabut yang
menutupinya tapi tetap saja kegagahan puncak Merapi tak dapat disamarkan.
Subhanallah. Tempat yang paling tepat untuk menikmati keindahan puncak merapi
adalah menara pandang yang terdapat di kaki gunung tersebut. Menaranya tidak
terlalu tinggi tapi lokasinya sangat strategis sehingga puncak merapi terlihat
sangat jelas dari sana.
Gerimis, dingin, licin |
Puncak Merapi dari menara pandang |
Kami memang tidak berniat untuk mendaki hingga ke puncak. Pertama, cuaca
sedang tidak bersahabat. Kedua, kami tidak membawa peralatan mendaki apapun.
Terakhir, kami hanya punya waktu sebentar. Jadi kami hanya berwisata di kawasan
kaki gunung Merapi dengan tujuan utama adalah bekas pondoknya mbah Maridjan.
Di sana aku melihat bekas rumah atau pondok mbah Maridjan yang bertugas
sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Bangunan rumahnya sih sudah tidak ada, kemungkinan
besar sudah hancur karena terkena lahar panas yang pada tahun 2010 memang
banyak mengalir dari Puncak Merapi. Dari spanduk yang terpasang di area sekitar
bekas rumah beliau tertulis bahwa mbah Maridjan ini adalah orang yang taat
beribadah dan sangat bertanggung jawab hingga akhir hayatnya ia abdikan untuk
menjaga Gunung Merapi. Aku tidak tahu persis bagaimana kronologis kematiannya.
Dari kabar yang kudengar bahwa saat itu Merapi “mengamuk”. Tim evakuasi menyuruh
semua orang yang tinggal di kaki gunung Merapi untuk mengungsi, tapi mbah
Maridjan bersikeras untuk tetap tinggal di rumahnya. Hingga akhirnya ia
meninggal dalam bencana lahar panas.
Situs bekas rumahnya Mbah Maridjan |
Selain Mbah Maridjan, juga terdapat korban lain. Dari spanduk yang
didirikan di dekat area tempat tinggal mbah Maridjan tertulis bagaimana
kronologi meletusnya Merapi dan para tim relawan yang “gugur” dalam tugas
penyelamatan korban bencana Merapi. Semoga mereka diterima di sisi-Nya. Aamiin.
Di depan spanduk kronologi bencana Merapi |
Sekarang, tiga tahun berlalu setelah bencana tersebut, kawasan Gunung Merapi merupakan tempat yang cukup aman bagi yang ingin berwisata sekaligus mengenang sosok Mbah Maridjan dan orang-orang yang telah berjasa pada waktu terjadinya bencana tersebut. Di area lapang di kaki gunung merapi tersebut didirikan masjid dan halamannya dapat digunakan sebagai tempat parkir. Terdapat juga warung yang menyediakan minuman hangat, cocok dikunjungi karena udara di sekitar merapi sangat dingin. Sambil menunggu hujan reda saat itu aku dan kawan-kawan berteduh sekaligus memesan minuman disana.
Suatu hari nanti, aku akan kembali kesana lagi. Mungkin lengkap dengan
carrier dan peralatan mendaki lainnya. Semoga.
Posting Komentar
Posting Komentar