Aku baru saja menamatkan sebuah novel
young adult berjudul Persona. Sebenarnya sudah lama pengen membaca ini waktu
liat seorang teman memposting status bahwa novel terbarunya sudah terbit. Yup, penulis novel ini kukenal karena pernah satu
organisasi dengannya.
Ini novel pertamanya yang kubaca, padahal dia sudah pernah menerbitkan beberapa novel sebelumnya. Secara
keseluruhan isi novelnya oke. Sebagai pembaca aku mengacungi jempol untuk karyanya. Dia menulis novel bersampul biru malam ini dengan sangat apik.
Judul : Persona Penulis : Fakhrisina Amalia Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : 2016 |
Mari kita mulai reviewnya tentang pemilihan judul. Persona. Kata ini memiliki arti semacam "kepribadian", ini dari kamus yang kubaca. Karena hingga isi novel ini habis kulahap, tak ada satu pun kata
persona. Judul novel ini cocok sekali dengan benang merah novelnya. Meski baru kusadari setelah cerita novel hampir berakhir.
Tema utama novel ini tentang keluarga broken home dan efeknya terhadap psikologis si anak. Ini sesuai sekali dengan latar belakang Iis –nama panggilan penulis, yang merupakan lulusan jurusan psikologi di kampus yang sama denganku. Tema seperti ini pernah kubaca juga pada novelnya Mbak Sinta Yudisia yang berjudul Bulan Nararya, yang juga pendidikannya berlatar belakang psikologi.
Selain itu kesukaan penulis terhadap semua hal yang berbau Jepang sangat membuat hidup tokoh Altair, seorang siswa blasteran Jepang. Beberapa istilah dalam bahasa Jepang tersebar dengan apik pada novel ini. Manga, budaya jepang, nama bintang dalam bahasa jepang, musim panas di Jepang, adalah beberapa hal lain yang menggambarkan bahwa Altair itu nyata.
Hanya saja jika tidak membaca sampai habis, maka tema psikologinya belum terlihat dengan jelas. Itulah kerennya penulis novel ini, ia baru membuka tabir psikologis tokoh utama pada halaman 197 dari total 244 halaman novel ini. Well, hampir
2/3 jalan cerita aku tidak menyadari bahwa ada kejanggalan pada si tokoh utama.
Ini berarti penulis berhasil mengemasnya dengan baik.
Ya, meskipun terlihat ringan. Novel ini
memperlihatkan kompleksitas hidup dalam pandangan seorang remaja pra-dewasa,
bukan hanya cerita tentang cinta remaja biasa. Cocok
banget dibaca buat yang ingin mencari hiburan sekaligus mendapatkan pengalaman
tentang hidup yang tak mudah bagi seorang Azura.
Aku menyukai cara penyampaian penulis yang
ringan. Ala remaja namun konflik kehidupannya ngena banget. Remaja,
Palangkaraya, psikologi, rasi bintang, dan budaya Jepang merupakan titik-titik
yang berhasil penulis hubungkan satu sama lain menjadi sebuah novel berjudul
Persona ini. Penggambaran rasi bintang di malam hari pada cover juga mendukung tema yang diceritakan pada novel ini.
Aku menyukai semua karakter utama pada
novel ini, yaitu Azura, Nara, dan Altair. Serta peran pendukungnya. Kalau bisa
disebut antagonis mungkin itu adalah kedua orangtua Azura sendiri. Oya, awalnya
aku bingung untuk menentukan harus “jatuh cinta” pada siapa, apakah Altair atau
Kak Nara, untuk Azura. namun keping novel ini menjawab kebingunganku tersebut,
keping pertama tentang Altair dan keping terakhir tentang Kak Nara.
Yup, novel ini memang terbagi menjadi
dua keping. Di setiap keping terdapat beberapa bab, di awal setiap bab terdapat keterangan
tempat, bulan, serta tahun terjadinya peristiwa dalam bab tersebut. Aku penasaran dengan
epilog, mengapa tak mencantumkan keterangan tersebut? Kalau boleh menerka sepertinya tempatnya adalah Jepang. Adalah sebuah kelalaian sepertinya karena tak mencantumkannya seperti
pada prolog dan awal bab. Ini penting sebagai bentuk konsistensi penulis. Selain itu juga sebagai alat bantu bagi pembaca karena plot yang penulis gunakan adalah maju mundur.
Bersetting di Palangkaraya, cerita dalam
novel ini terasa dekat denganku. Aku pernah 3 kali ke kota tersebut, dan
sebagian besar tahu tempat-tempat yang didatangi oleh Azura dalam novel ini.
Budaya Dayak yang berfungsi sebagai pembenaran bahwa mereka memang hidup di
Palangkaraya, juga membuat novel ini terlihat begitu nyata. Meski ada beberapa tempat yang kutahu adalah fiksi, salah satunya yaitu sekolah para tokoh yaitu Isen Mulang International School (IMIS).
Pesan yang diselipkan penulis pada novel ini sebenarnya sederhana, yaitu bahwa kesalahan “sepele” dari seseorang atau sekelompok orang akan menimbulkan dampak besar bagi kehidupan sebagian atau bahkan semua orang di sekitar dia/mereka. Setiap perbuatan mempunyai konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan pelakunya. Seperti yang dilakukan oleh Mama dan Papa Azura, karena “kesalahan” merekalah cerita dalam novel ini ada.
Posting Komentar
Posting Komentar