Masjid Raya Amuntai |
Judul postingan kali ini sepertinya serius banget ya. Tapi sebenarnya isinya "hanyalah" sebuah catatan perjalananku yang kesekian kalinya ke Kota Amuntai. Yup, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) ini jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumahku di Kabupaten Hulu Sungai Tengah jika dibandingkan ke kota-kota tetangga yang lain. Berdasarkan pengukuran spedometer, jarak yang ditempuh dari rumahku ke kota Amuntai yaitu sekitar 44 km. Tapi lewat jalan pintas jaraknya hanya sekitar 33 km. Nah, yang akan kuceritakan adalah pengalamanku melewati jalan pintas ini.
Seperti biasa travelmateku (baca: suami) selalu setia menemani travelingku, termasuk kali ini. Dari Desa Teluk Mesjid di Kecamatan Batu Mandi, Kabupaten Balangan, kami berbelok menuju jalan pintas. Medan jalan awalnya masih friendly meski lubang di sana-sini menghiasi aspal. Ditambah lagi sepertinya kemarin malam di sana hujan jadilah lubangnya penuh air. Di kanan kiri jalan awalnya masih banyak rumah penduduk, tapi semakin ke dalam kebun karet warga mendomonasi pemandangan.
Di suatu bagian jalan ada sekitar 1-2 km jalan beraspal mulus yang sepertinya baru saja diperbaiki. Tapi entah kenapa hanya di bagian itu saja. Setelah jalan mulus tersebut tibalah kami di jalan setapak tanpa aspal. Wohoo, thankyou for bring me here, mungkin itu yang dikatakan X-Ride jika ia bisa bicara. Yeah, motor yang kupakai setiap hari ke kantor ini adalah motor dengan spesifikasi khusus melewati medan terjal. Jalanan sungguh tak terkontrol lagi kemulusannya. Lumpur di semua bagian jalan menghiasi motor. Tak terhitung berapa kali kami hendak terpeleset. Tapi seperti rumusku selama ini kalau sedang dibonceng di medan berat, percayakan saja pada driver. Dia pasti akan melakukan yang terbaik. Yihaaa, love you my husband.
Tapi kalau dibandingkan dengan jalan pintas menuju Loksado yang pernah kami lewati, medan ini tidak apa-apanya. Jadi ya gak terlalu ngeluh banget, hanya saja kemarin kan kita pakai baju 'bagus' karena mau ke kota. Sayang saja kalau sampai terkena cipratan lumpur. Oya, sebenarnya aku sudah pernah sekali lewat jalan ini. Waktu itu sekitar tahun 2011 aku bersama rombongan keluarga motoran ke Amuntai ke Waterboom Amuntai yang baru buka. Pulangnya kami lewat jalan pintas ini. Leadernya waktu itu adalah paman karena dia sering ke sana ketika memancing. Ya, kawasan jalan pintas tersebut biasanya dikunjungi orang-orang dari berbagai daerah untuk mencari ikan karena di sana terdapat sungai dan perairan rawa tanpa pemilik.
Setelah melewati persimpangan menuju Desa Pulau Damar jalanan makin kacau saja. Di kanan kiri sawah rawa membentang luas mengapit jalan setapak yang kami lewati. Tak ada jenis tanaman yang ditanam di sana, entah karena pemiliknya tidak ingin atau memang tanahnya yang tidak cocok dicocoktanami. Meski dari kejauhan aku melihat sepetak sawah yang ditanami dengan pohon sawit. Beberapa rumah atau yang lebih mirip pondok warga juga berdiri di tengah-tengah sawah. Namun dari pondok-pondok tersebut tak banyak penghuninya yang masih menetap. Hanya ada satu rumah yang kulihat masih berpenghuni dan memelihara banyak sapi di area halamannya yang difungsikan sebagai kandang. Mungkin ketiadaan mata pencaharian di sana sehingga mereka memilih meninggalkan tempat tersebut. Yeah, mungkin ini salah satu Amuntai undercover. Perkampungan marjinal di ujung kabupaten HSU.
Kebun sawit di tengah swah berawa |
Akhirnya di jarak 30 km dari rumah kami tiba kembali di jalan besar, tepatnya di Desa Banjang, Kecamatan Banjang Kab HSU. Karena waktu itu jam makan siang sudah tiba, tujuan pertama kami adalah mencari warung makan. Meski sudah lumayan sering ke Amuntai tapi aku tidak banyak tahu tentang tempat kuliner yang bagus di Amuntai. Dulu kami kalau ke Amuntai seringnya mencari menu itik tanpa tulang yang warungnya persis di tepi sungai dekat pasar tradisional Amuntai. Tapi area tersebut sekarang sedang direnovasi karena sebelumnya kulihat ada beberapa bangunan yang terkena longsor akibat dibangun terlalu dekat ke badan air.
Sebenarmya ada sih tempat makan lesehan yang enak di dekat Waterboom Amuntai tapi lumayan jauh dari area pasar. Sedangkan tujuan kami adalah ke pasar tradisionalnya. Jadilah dengan bekal insting kami mampir ke warung makan Jawa Timur Ayam Bakar Mas Eko, persis di sebelah rumah makan Kalijo cabang Amuntai. Semoga saja enak doa kami waktu itu. Beruntung ada tempat lesehannya juga. Disanalah kami duduk. Warungnya juga jadi satu dengan tempat berjualan jus. Eh, suami menawariku pencok buah. Awalnya aku menolak karena beberapa hari terakhir sering makan pencok di kantor. Eh ternyata yang dimaksud dengan pencok oleh suamiku itu adalah manisan mangga dalam cup yang dijual di meja penjual jus. Jadilah suami membeli satu cup harganya 7 ribu rupiah. Rasanya? Manis, asam, pedas. Pedasnya banget sih di lidahku, meski kata suami enak.
Pesanan ayam bakar, nasi, dan lalapan pun datang. Rasanya lumayan enak. Cocoklah di lidah kami. Suamiku senang sekali dengan sambalnya, bisa tambah banyak pula karena tinggal ambil di mangkok yang disediakan. Aku seperti biasa, makan dengan sambal sebagai hiasan. Dicocol sedikit bersama kecap. Not bad lah. Harganya cukup bersaing yaitu sekitar 20 ribu rupiah per porsi.
Pengisi perut |
Tujuan selanjutnya adalah Masjid Raya Amuntai. Kami shalat karena waktu zuhur telah tiba. Sejujurnya aku baru kali pertama ke kompleks masjid ini. Lumayan besar juga. Kurang lebih sama dengan masjid agung yang ada di Barabai. Tapi bedanya di ke empat sisi masjid ini diapit oleh jalan besar sehingga ada banyak pintu masuk. Meski begitu kemarin itu pintu masuk yang dibuka hanya satu yaitu pintu masuk bagian belakang di dekat parkir sepeda motor. Ada satu yang menarik perhatianku adalah sebuah pohon raksasa yang menjadi penghias utama halaman masjid. Umurnya pasti sudah tua sekali dan yang pasti rindang.
Tujuan yang terakhir dan utama adalah pasar tradisional Amuntai. Misi kami yang utama adalah mencari barang yang kemungkinan ada di pasar Amuntai dan yang pasti tidak ada di Barabai, karena sudah hunting sebelumnya. Banyak orang yang bilang kalau untuk barang-barang tertentu stokmya lebih banyak di Amuntai dan bahkan barang yang tidak ada di Barabai pun bisa jadi ada di Amuntai. Diluar akurat atau tidaknya anggapan tersebut, bagiku ini adalah poin kedua Amuntai undercover. Konon katanya Amuntai memiliki pelabuhan sendiri sehingga distribusi barang lewat jalur air lebih banyak ke Amuntai. Tapi sayang beribu sayang barang yang kami cari tidak ditemukan. Sekalinya ketemu harganya naik 75%. Bah!
Berbicara tentang pasar tradisional Amuntai, di sinilah pusat utama jual beli warga Amuntai dan sekitarnya. Meski sudah berdiri Plaza Amuntai, yaitu sebuah kompleks pertokoan modern di dekan taman kota sejak beberapa tahun yang lalu, pasar tradisional Amuntai tak pernah sepi dari orang-orang yang berdagang dan ingin berbelanja. Pasar ini terletak di sebuah bangunan berlantai dua yang sudah terlihat tua sekali. Tidak hanya di bangunan tersebut, area pasar pun merambah ke samping kanan kiri bahkan di seberang jalan. Jadi jangan coba-coba berkendara ke daerah ini kalau hanya untuk lewat, macet.
Ada banyak jajanan pasar yang bertebaran dijual para pedagang kecil. Karena kondisiku kemarin sudah kenyang jadi aku tidak lapar mata untuk membeli jajanan yang sebenarnya menggiurkan tersebut. Ada sebuah warung besar di tengah-tengah pasar yang menjual banyak kue tradisonal. Dari lantai dua, aku bisa cuci mata melihat-lihat jenis-jenis kue tersebut.
Jajanan pasar |
Setelah urusan kami selesai, kami pun mulai beranjak dari Kota Amuntai untuk kembali mudik ke rumah. Kali ini kami malas bertemu dengan becek-becek lagi, jadi kami lewat jalan umum saja meski harus rela menempuh jarak tambahan sekitar 11 km dari jalan pintas yang sebelumnya kami lewati. Di perjalanan pulang tersebut ternyata suami ngantuk berat. Dia pengen tiduran bentar katanya di masjid tapi hingga berkilo-kilo meter kemudian tak satu pun masjid disinggahi entah mau cepat sampai atau merasa tempatnya kurang enak tapi yang jelas dia menolak ketika aku menawari tukar posisi. Padahal bener lho aku kuat aja untuk nyetir perjalanan jauh, toh lagi mahasiswa kan biasa aja. Cuma mungkin suami malas diliatin orang-orang atau kasian sama aku yang bertubuh kecil ini. Hehe
Sampai saking ngantuknya suami aku mencoba "menghiburnya" dengan menyalakan lagu kesukaan. Tapi susah karena pakai headset dan pakai speaker pun suaranya jadi ditiup angin. Sampai di tempat yang sepi ia meminta botol minum. Kukira akan diminum ternyata airnya dibasuhkan ke wajah. Barulah ia merasa segar. Waktu kami terakhir ke Amuntai dia begitu juga, ngantuk saat di perjalanan pulang. Bahkan waktu itu aku juga ikut-ikutan ngantuk. Jadilah kami tiduran di masjid sambil nunggu waktu ashar. Every trip has a storytell.
Es nyiur gula habang |
Sampai di Desa Hamparaya yang masih masuk Kabupaten Balangan, kami mampir di warung minum yang menjual es kelapa dengan tambahan gula aren atau kalau dalam bahasa Banjar disebut es nyiur gula habang. Lumayanlah meredakan haus, kantuk, dan lelah. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi. Sampai di Desa Haur Gading kami belok ke sebelah kiri, masuk jalan pintas menuju rumah. Meski medannya terjal, melewati perkebunan karet, tapi karena jarak yang berhasil kami pangkas lumayan jauh jadi kami dengan senang hati lewat sini. Ini kali yang kedua, pertama kali aku lewat sini waktu kami pulang traveling berburu gerhana bulan Maret lalu.
Posting Komentar
Posting Komentar