Judul: Dan Hujan Pun Berhenti...
Penulis: Farida Susanty
Penerbit: Grasindo
Tahun terbit: 2007
Aku baru aja selesai membaca novel ini. Sebenernya reread sih karena udah pernah baca sekali waktu baru beli, pertengahan 2013. Waktu baca sekali itu aku nggak ngereview novel ini jadi sama sekali buta tentang inti ceritanya ketika melihat novel ini terselip di antara koleksi bukuku yang lain. Yang kuingat hanya novel ini bercerita tentang kehidupan seorang anak yang broken home. Namun, alur hingga endingnya aku tak ingat persis bagaiamana. Itulah yang membuatku ingin membaca ulang novel ini.
Sejak awal aku sudah sadar bahwa novel ini dark banget. Kelam. Tokoh utama bernama Leo, seorang remaja kelas 2 atau 3 SMA. Mengingat penulisnya cewek, menjadi "seorang Leo" pasti membutuhkan usaha yang sangat keras. Itu ternyata disampaikan penulis pada ucapan terima kasihnya. Draft novel ini pernah ia sebarkan di kelasnya untuk dibaca oleh teman-temannya. Seorang teman lak-laki menyelutuk, "wah kok pikiran Leo cewek banget sih?" Sejak saat itu Farida Susanty merombak tokoh Leo menjadi "benar-benar seorang laki-laki." Menurutku sih dia berhasil karena reaksi Leo setiap dia menghadapi masalah persis dengan apa yang mungkin remaja laki-laki lakukan di kehidupan nyata.
Saking darknya novel ini, segala macam kenakalan remaja resmi berkumpul di sini. Pasti butuh riset yang mendalam bagi penulisnya. Begitu pula dengan penggunaan bahasa yang jauh dari sopan santun. Untuk menekankan emosinya, penulis menggunakan banyak capslock di hampir semua percakapan tokoh. Ini sedikit mengganggu mata sebenarnya. Meski masih bisa dimaklumi mengingat tujuan penulis agar suasana pertengkaran yang penuh teriakan atau debat panas bisa tersampaikan dengan jelas.
Di halaman 51 ada hal yang menggelitik karena ada catatan kaki nomor 10 yang berbunyi "if you know what I mean" yang merujuk kepada narasi penulis tentang pertemuan Cinta dan Rangga di film AADC karena ada unsur buku "Aku", mading sekolah, wawancara, dan lomba puisi. Itu penulis singgung saat Leo berusaha mencari Spiza di perpustakaan ketika mengetahui bahwa cewek itu ternyata nerd.
Adegan pasca perkelahian Leo-Tyo-Luthfi sungguh mengharukan di hal 115. Ketika kesadaran menerjang pikiran Luthfi bahwa ia sedang iri pada orang yang salah. Ia iri pada orang yang penuh luka. Bukankah sakit menjadi Leo? Tapi Leo adalah seorang teman yang baik meski ia sendiri memandang dirinya sendiri tidak tulus berteman. Lihatlah pendapat Tyo, sang musuh bebuyutan di halaman 128, Leo adalah orang yang tulus bahkan di mata orang yg memusuhinya sekalipun.
Adegan Eeny Meeny Miny Moe ini menurutku sukses penulis bawakan. Hanya saja logika cerita di novel ini kadang membingungkan. Dimana guru saat perkelahian berdarah itu? Toh waktu itu masih jam sekolah dan lokasinya pun di dalam sekolah.
Penulis sepertinya sangat suka menonton film. Terbukti dengan banyaknya ungkapan dari film-film yang sepertinya sudah khatam dilahap penulis. Film yang mungkin paling mempengaruhi isi novel ini adalah film Elephant yang bercerita tentang seorang anak yang membunuh semua orang di dekatnya. Cocok sekali film tersebut menjadi latar belakang novel ini sehingga melahirkan kehidupan Leo yang gelap.
Membaca novel ini seperti mengikuti gejolak hati para remaja yang kehilangan jati diri. Kilasan masa lampau, rasa sakit yang diakibatkan oleh keluarga broken home, serta teriakan dan makian kasar. Aku sudah sakit jiwa kalau menjadi Leo, tekanan hidupnya banyak dan komplit sekali. Gaya berpikir Leo pun tak jauh beda dengan mereka yang membutuhkan psikiater.
Aku dibuat nangis bombay ketika membaca surat ibu Leo kepadanya. Sedih banget. Seorang ibu betapa pun brengseknya, ia tetaplah malaikat bagi anak-anaknya. Sedih banget, asli. Hal lain yang membuat mataku berkaca-kaca adalah konflik persahabatan antara Adi dan Leo. Kepercayaan terhadap sahabat pada masa remaja adalah hal yang agung dan mahal.
Tuhan itu skenarionya aneh, begitu kata Leo di hal 297 ketika ia bertemu dengan Stella penabrak Iris-nya. Lihatlah siapa yang disodorkan Tuhan untuk ia maafkan pertama kali untuk memperbaiki hidupnya, Stella. Orang yang mungkin akan Leo bunuh saat itu juga jika ia tidak menggenggam kesadaran.
Epilognya bikin aku bingung dan gila. Logika susah dipakai ketika membaca novel psikolog seperti ini. Namun, mengingat konflik penuh darah dan api yang dikemas dengan baik oleh remaja kelas 3 SMA tak salah sepertinya novel ini menyandang gelar Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 kategori penulis muda berbakat.
Posting Komentar
Posting Komentar