Untuk
memanfaatkan waktu libur lebaran, aku memaksa mengajak suami untuk
jalan-jalan ke Danau Panggang, Amuntai. Daerah yang terkenal dengan wilayah danau
rawa dan kerbau rawanya tersebut sebenarnya sudah menarik minat travellingku sejak lama. Namun, belum
ada kesempatan yang pas untuk menjelajahnya, terutama karena waktu libur yang
terbatas dan jarak yang cukup jauh dari tempatku berdomisili.
Kamis,
29 Juni 2017 adalah hari di mana kesempatan itu datang. Aku yang awalnya
uring-uringan karena saat libur panjang belum bisa kemana-mana akhirnya jadi
bersemangat setelah suami menyetujui whistlist
lamaku tersebut. Kebetulan pula, kami sudah kehabisan destinasi wisata di
dekat-dekat rumah. Hampir semua tempat sudah kami eksplor, sehingga kami mulai
merambah ke destinasi yang agak jauh.
Karena
sibuk berdebat tentang ini itu, aku dan suami baru siap berangkat pada pukul 9
pagi. Saat itu, tiba-tiba teman suami menelpon. Menanyakan apakah suami akan
bareng bersama dengannya ke resepsi pernikahan keluarga teman mereka. Astaga,
suami menepuk jidatnya. Dia baru ingat ada undangan itu. Jadilah kami ke acara
itu dulu di Desa Palajau-Munjung, Kec. Batumandi, Kab. Balangan. Cukup jauh
dari rumahku yang ada di Desa Labunganak, Kec. BAU, Kab. HST. Tapi aku
senang-senang saja, karena artinya kami akan melewati jalan yang berbeda
daripada biasanya karena dari sana kami bisa langsung go to Amuntai.
Setelah
menghadiri resepsi dan beramah tamah dengan teman-teman suami, kami pun
melanjutkan perjalanan. Waktu sudah menunjukkan sekitar jam setengah 11. Kali
ini kami lewat jalan utama yaitu lewat jalur Lampihong-Batumandi. Tidak seperti
waktu terakhir kami ke sana yaitu lewat jalan tembus dari Desa Teluk Masjid-
HST ke Desa Banjang-HSU. Pertimbangannya karena pertama tadi waktu keluar dari
Desa Palajau kami sudah melewati belokan menuju Desa Teluk Masjid. Kedua, kami
harus mengisi bensin di Desa Riwa yang jika lewat jalan Banjang tidak
terlewati, dan ketiga jalannya cukup mengerikan, becek apalagi jika habis hujan
lebat seperti kemarin. Maklum, wilayahnya didominasi oleh jalanan setapak di
tepi sawah.
Sampai
di pusat Kota Amuntai, waktu sudah menunjukkan waktunya sahalat zuhur. Di
simpang 4 Pelampitan, suami mulai mengaktifkan GPS. Yeah, thanks to GPS. Di perempatan tersebut kami belok kanan, arah
ke Desa Sungai Malang. Setelah itu aku lupa kami melewati desa apa saja, pokoknya
kami ikut saja petunjuk arah yang diberikan oleh suara cantik GPS. Hingga kami
tiba di sebuah pertigaan yang di peta GPS bertuliskan Danau Panggang, sedangkan
papan petunjuk jalan memberikan arah untuk berbelok ke kanan.
Papan Penunjuk Arah ke Danau Panggang |
Kami
pun berbelok ke kanan sebelum jembatan besar yang melintang di atas sebuah
sungai yang cukup besar. Kelak, kami mengatahui bahwa petunjuk jalan yang
dimaksud adalah untuk jalan di seberang jembatan. Namun, karena kami melihat
jalannya masih satu lajur yaitu menyisir sungai, maka kami terus menyusuri
jalan hingga berhenti di sebuah masjid di Desa Banua Hanyar untuk melaksanakan
shalat zuhur.
Untuk
memastikan arah, suami bertanya sebelum berwudhu kepada seorang pemuda yang
berada di masjid. Katanya jalan kami sudah benar, tinggal nyebrang, terus belok
kanan lalu lurus. Mau ke Guru Danau kah?
tanyanya. Suamiku tersenyum, lalu menggeleng. Ya, aku lupa menceritakan bahwa
hal lain yang terkenal dari Danau Panggang adalah seorang ulama atau kyai dari
Danau Panggang, beliau lebih dikenal dengan sebutan Guru Danau. Ada yang unik di halaman samping masjid ini, yaitu adanya kuburan yang ditumbuhi padi di sela-sela batu nisannya.
Padi di antara Nisan |
Selesai
shalat, kami pun melanjutkan perjalanan. Ternyata masih jauh, sekitar 12 km
lagi. Perjalanan pun terasa sedikit membosankan karena lurus saja. Oya,
sepanjang jalan tersebut, tak kurang dari 5 buah rsespsi perkwinan kami lewati.
Kami akhirnya tiba di pertigaan dan belok ke kiri yang terlihat lebih meyakinkan
karena jika lurus saja sepertinya adalah kompleks pengajian Guru Danau dan
terlihat buntu. Karena GPS sudah kami matikan sejak di masjid tadi, kami pun
tebak-tebak buah manggis, hingga melewati sebuah warung makan.
Makan Siang dulu ye kan |
Perut
kami keroncongan jadi kami mampir untuk mengisinya. Beruntung, menunya cukup
enak. Nasi sop plus sate. Di sana, kami ‘wawancara’ singkat dengan pemilik
warung. Kebetulan sekali, di dekat warung makan tersebut adalah kantor Kecamatan
Danau Panggang. Wah, wah, berarti kami saat itu sedang berada di ‘pusat’ Danau
Panggang. Jika terus mengikuti jalan kata si pemilik warung maka akan tembus ke
Babirik dan Alabio, berputar. Usut punya usut lokasi kerbau rawa ternyata hanya
bisa dicapai dengan menggunakan kelotok atau speedboat yang bisa ditemukan di pelabuhan.
Kompleks Pengajian Guru Danau |
Gerbang Dermaga Danau Panggang |
Setelah
menuntaskan urusan perut, kami pun menuju pelabuhan Danau Panggang yang
terletak tepat di belakang masjid kompleks pengajian Guru Danau yang telah kami
lewati tadi. Tidak banyak aktivitas yang terjadi di sana. Hanya warung-warung
di tepi sungai saja yang ramai. Karena belum bisa memutuskan apakah kami akan
naik perahu atau tidak, maka kami memutuskan untuk mengeksplor area sekitar
terlebih dahulu. Dari pelabuhan, kami melihat sebuah jembatan kayu, kami pun
menyeberang ke sana. Ternyata jembatan tersebut menghubungkan titian kayu ulin
yang merupakan tanah para warga yang mempunyai rumah di atas rawa di tepi
sungai.
Titian
tersebut ternyata berkelok-kelok-kelok dan hanya ada satu lintasan. Kami bisa
memandang rawa luas dengan leluasa. Jauh-jauh, hingga ke kaki langit. Sayang,
ada begitu banyak tumbuhan air yang menutupi permukaan. Harusnya praktikum mata
kuliah Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah (PLLB) ke sini ya.
Pemandangan Sungai dari Pelabuhan |
Desa Rintisan, Desa di
Atas Rawa
Sekitar
3 km mungkin titian kayu tersebut akhirnya membawa kami ke sebuah desa bernama
Desa Rintisan. Tepat di dekat kantor desa tersebut terdapat jembatan tinggi
yang menghubungkan titian seberang dengan sebelah sini. Ya, semuanya berada di
atas danau, tepatnya rawa. Setelah puas menikmati pemandangan dan berfoto kami
pun pulang melewati titian ulin yang sama. Saat kami bertanya kepada anak kecil
yang lewat di atas jembatan mereka bilang bahwa kami tidak bisa melanjutkan
perjalanan lewat jalur selanjutnya karena titian ulin yang menghubungkan dengan
daratan di ujung yang lain sudah rusak sehingga akses terputus.
Sayang
memang, aku tak bisa melihat langsung peternakan kerbau rawa atau kalau dalam
Bahasa Banjar biasanya disebut sebagai hadangan.
Tapi rasanya juga tidak terlalu rugi, karena aku telah menjelajah perkampungan
di atas rawa dengan sepeda motor. Di sepanjang perjalanan melewati titian ulin
tersebut aku harus lebih banyak tersenyum kepada ibu-ibu,bapak-bapak, atau
anak-anak yang duduk nongkrong di teras rumah mereka yang jaraknya sangat dekat
dari titian ulin yang kami lewati. Jalur tunggal begini, bahaya juga kalau kami
kelihatan berbahaya di mata mereka.
Sampai
di pelabuhan, kami langsung melanjutkan perjalanan pulang melewati jalan yang
sama. Tiba di sebuah pertigaan, kami agak ragu ingin lurus atau belok kanan. Malas
buka GPS. Lalu aku menyarankan belok ke kanan, kalau pun salah sepertinya akan
tetap keluar di titik yang sama, yaitu simpang 4 Pelampitan. Nah, sebelum
simpang 4 tersebut kami merasa ngantuk, jadi kami mampir di sebuah masjid dan
tidur. Tak lama kemudian azan ashar berkumandang. Alhamdulillah, kami sempat
terlelap. Setelah menunaikan shalat ashar kami pun kembali melanjutkan
perjalanan.
Kali
ini aku meminta ke suami untuk lewat Desa Sungai Buluh, tidak lewat Desa Lampihong
lagi. Ya, aku ingin melihat sisi lain ujung HST bagian selatan. Sungai Buluh
ternyata lokasinya jauh sekali dari Kota Kabupaten. Kanan kiri jalan raya pun
rawa, bukan sawah. Sama persis dengan daerah Danau Panggang tadi. Akhirnya kami
tiba di Kec. Pandawan, lalu Kota Barabai. Sudah terasa di rumah sendiri kalau
sudah di sini karena tiap hari bolak-balik kantor lewat kota.
Alhamdulillah, akhirnya
aku bisa menjelajah Danau Panggang dan berputar-putar di 3 Kabupaten, yaitu
HST, Balangan, dan HSU. Melelahkan, tapi puas. Iseng, aku memantau jarak yang
diperlihatkan spedometer dari awal perjalanan pulang hingga sampai ke rumah.
Ternyata di perjalanan pulang tadi kami menempuh jarak 80 km. Kalikan 2 saja untuk perjalanan
berangkat, berarti kami menghabiskan waktu di jalan hari ini sejauh 160 km
sejak jam 9 pagi hingga jam 7 petang.
Wah, kesannya damai sentosa ya mba hehe.
BalasHapusSuka lihatin eceng gondoknya, sama jembatannya juga.
Di tempat saya dah jarang ada jembatan gantung begitu.
pingin rasanya main2 di kampung terapung gt melewati jembatan
BalasHapuswah danau dg air tenang itu menghanyutkan ya
BalasHapus