Yeaay, aku travelling lagi. Senang sekali. Kali ini misiku ikut suami camping dengan agenda pelantikan siswa
binaannya di ekskul pramuka.
Perjalanan di mulai setelah shalat ashar. Setelah packing singkat, aku dan
suami berangkat ke lokasi. Motoran sejauh 25 km dari rumah. Di tengah
perjalanan kami melewati medan berkelok-kelok, naik turun. Setiap jalan menurun
yang panjang, kami mematikan gas motor sehingga hanya mengandalkan gaya
gravitasi. Seru. Lokasi yang kami tuju adalah Desa Nateh, sebuah desa di
Pegunungan Meratus yang termasuk dalam kecamatan Batang Alai Timur.
Tiba di pertigaan Desa Nateh, kami berbelok ke kiri. Medan yang sesungguhnya
menunggu kami. Jalanan becek karena jalan berlubang dan habis hujan. Kebetulan
pula, saat itu tanah baru diuruk untuk menutup lubang-lubang tersebut. Tambah
becek. Lewat pun susah karena cipratan tanah yang baru diuruk belum padat dan
bahkan di beberapa titik masih dalam proses pengurukan.
Sebenarnya aku bukan kali ini saja ke sini. Hampir setiap tiga bulan sekali aku
bersama tim lapangan di kantor ke desa ini untuk mengambil sampel air sungai, tapi
menggunakan mobil lapangan. Tak kusangka ternyata kalau pakai motor lewat di
sini susah begini. Oya, bahkan di periode pengambilan sampel yang terakhir kami
sempat kepecahan ban mobil karena ban mobil yang saat itu terlalu kencang terantuk
batu-batu jalanan yang runcing. Jalannya beraspal sih, tapi rusak karena seringnya
truk pengangkut pasir dan atau batu yang lewat di sepanjang jalan ini.
Ngomong-ngomong tentang pasir dan batu, Nateh memang memiliki sumber daya
alam berupa kedua hal tersebut selain wisata alamnya. Di tepi kanan jalan
terdapat sungai lebar yang berarus deras, pasirnya ditambang warga untuk
dijual. Sekarang sih sudah pakai alat penyedot, dulu mungkin mesti nyelam
langsung untuk ngambil pasirnya. Di sebelah kiri jalan terdapat gunung batu,
ini adalah khas Desa Nateh. Gunung batu ini selain sebagai barrier alam,
batunya juga ditambang oleh warga sekitar. Sejauh yang aku lihat metode penambangan batunya masih manual. Ya dipukul dengan alat berat menggunakan
tangan. Aku sering kasihan melihat para pekerja tersebut, pasti tangan mereka sakit sekali. Sama dengan
pasir, batu ini dijual sebagai bahan pondasi rumah beton.
Akhirnya kami sampai di tempat, yaitu sebuah lahan kosong di tepi sungai.
Setelah kuingat-ingat, kayaknya aku sudah pernah ke sini waktu SMP saat
darmawisata. Hal ini disebabkan saat aku melihat bagian sungai yang berkelok
dan bagian belakang rumah orang di kejauhan. Pemandangan yang sepertinya pernah
kulihat. Waktu aku cerita ke suami, dia bilang mungkin saja karena spot wisata
sungai Nateh itu ya di sini. Fix berarti aku benar.
Sungai Nateh |
Kami pun langsung mendirikan tenda dan persiapan memasak untuk makan malam.
Secara bergantian, kami shalat. Lalu makan malam. Malam itu tidak cerah, tapi
juga tidak hujan. Untung sekali karena sebelumnya seharian hujan. Karena hari
gelap, cahaya apapun jadi terlihat terang. Kami yang hanya mengandalkan nyala
senter dan api unggun terkagum-kagum dengan tarian kunang-kunang d atas sungai.
Indah sekali. Sudah lama aku tak melihat kunang-kunang. Aku pernah baca hasil
penelitian jika kunang-kunang masih bisa hidup di suatu tempat berarti tempat
tersebut masih tidak tercemar udara dan airnya. Berarti Nateh masih aman dari
kerusakan lingkungan, semoga selamanya begini. Mengingat adanya isu pertambangan di
HST, sepertinya Nateh juga termasuk daerah yang akan menjadi area tambang. Hiks, semoga
jangan.
Camping di tepi sungai |
Setelah makan malam, kami mengobrol. Apa saja. Topiknya meluas kemana-mana.
Yang paling seru sih topik tentang hantu kerena bikin halu. Di tempat terbuka
di tengah hutan seperti ini pula. Para cowok sih anteng saja, nah kami para
cewek agak sedikit merinding. Malam itu aku tertdiur sekitar jam 11 malam. Tidak terlalu nyenyak sih
karena tanah yang menjadi tempat kami mendirikan tenda agak miring.
Pagi datang, rutinitas pagi dimulai. Kami para cewek agak susah menemukan
tempat tertutup untuk buang air karena hari juga sudah mulai perlahan terang,
oleh karena itu kami motoran ke masjid untuk menumpang toilet sekaligus shalat
subuh. Yang menjadi catatanku adalah reaksi orang-orang desa yang berpapasan
denganku di jalan saat ke masjid. Mereka terlihat tidak aneh saat melihat orang
asing di desa mereka bahkan di pagi hari ketika mereka baru membuka mata. Kata
suami sih karena mereka memang sudah terbiasa ‘dikunjungi’ orang luar yang
berwisata ke Desa Nateh, baik yang ke sungai atau ke gunung, baik yang datang
sehari saja atau bahkan berkemah seperti kami. Oh, kataku manggut-manggut.
Desa Nateh |
Harusnya ada semacam kebijakan dari pihak desa ya waktu wisatawan masuk ke
sana, entah bagaimana pengelolaannya tapi yang jelas arus masuk wisatawan dapat
terkontrol sehingga dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selain
menambah keamanan dalam berwisata, hal tersebut juga dapat menambah income
masyarakat. Ngomong-ngomong tentang masyarakat desa, ada seorang penduduk
bernama Jalal. Umurnya mungkin di atasku beberapa tahun. Sejak kami datang sore
itu, ia dengan akrabnya bergabung dengan anak laki-laki. Kata anak-anak yang
pernah datang ke situ, di desa ia dikenal sebagai orang dengan gangguan mental. Tapi sungguh kami sama sekali tidak terganggu dengan kedatangannya
karena sikapnya yang bersahabat, mau membantu, dan tentunya tidak mengganggu.
Sarapan di tepi sungai |
Kami pun meminta Jalal untuk menunjukkan jalan menuju puncak yang lebih
aman dan tidak terlalu tinggi. Akhirnya Jalal membawa kami ke Gunung Kukup.
Kalau dilihat dari bawah, memang kurang tinggi daripada Gunung Nateh tapi
mashaaallah curamnya sama saja. Bahkan di awal pendakian kami sudah beberapa
kali terpeleset. Nyaliku yang biasanya gede, kali ini agak gugup dan was-was.
Tapi dengan bismillah kami tetap melangkah menuju puncak.
Gunung yang akan kami daki |
Di sebuah tanjakan curam lainnya nyali kami kembali diuji. Yang bikin
ketar-ketir itu tanah yang kami injak longsor, terus gak ada pegangan. Sungguh
kayak manjat gitu deh jadinya posisi kami saat naik. Aku bahkan melepas alas
kaki karena merasa lebih percaya diri kalau kaki menjejak tanah langsung,
alhasil kaos kakiku kotor karena tanah kuning. Setelah kupikir-pikir longsoran
tanah ini sepertinya karena batu sebagai penguatnya sudah banyak ditambang
orang sehingga tanahnya jadi longgar. Duh, mirip scene film 5 CM kalau
diingat-ingat.
Kemiringannya segini lho, disempetin selfie biar keliatan curamnya |
Setelah tanjakan maut, kukira puncak sudah dekat, ternyata masih jauh dan
curam. Tapi sekarang sudah mulai banyak pegangan termasuk batu dan akar pohon.
Noted jangan berpegang pada rumput, karena rumputnya bisa lepas. Anak kecil juga
tahu ya, tapi kadang karena gak ada tempat lain untuk memegang maka yang ada di
pikiran saat itu hanya berpegangan adalah rumput. Kami sempat istirahat dulu
setelah menemukan tempat yang agak landai.
Pemandangan dari puncak Gunung Kukup |
Ketika teman-teman yang sudah sampai di atas berteriak kalau puncak sudah
dekat jadilah kami bergegas untuk menyusul. Sampai di puncak, subhanallah keren
sekali. Kami bisa melihat sungai, hutan, rumah penduduk, puncak gunung sebelah,
dan awan dari puncak ini. Terbayar rasanya perasaan lelah saat mendaki setelah
menikmati pemandangan ekstra luas dari puncak ini.
Selfie bersama suami di puncak |
Sekitar satu jam kami berada di puncak sambil melakukan beragam kegiatan,
terutama upacara pelantikan dan foto-foto. Ketika kami memutuskan untuk turun,
perasaan takutku muncul lagi. Jika mendaki di permukaan curam susah sepertinya
turunnya jauh lebih susah karena berpotensi terpeleset tanpa pegangan.
Beruntunglah, para cowok berinisiatif memgikat tali tambang di beberapa
titik rawan. Sehingga kami cukup terbantu untuk turun karena sudah ada
pegangan. Yang unik, setelah orang terakhir turun, tali-tali tersebut tidak
dilepas. Biarlah sebagai bantuan untuk orang-orang yang akan naik gunung ini
selanjutnya, kata suami. Sampai di bawah, kami melihat bapak-bapak penambang batu. Lagi-lagi, aku kasihan melihatnya.
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke rumah tempat kami menitipkan motor. Sampai di sana, kami langsung berkendara mencari spot sungai untuk membersihkan badan. Ya, mendaki Gunung Kukup ternyata membuat badan kami gerah dan yang jelas pakaian menjadi kotor karena bergesekan dengan tanah, akar, dan pohon.
Bapak penambang batu |
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke rumah tempat kami menitipkan motor. Sampai di sana, kami langsung berkendara mencari spot sungai untuk membersihkan badan. Ya, mendaki Gunung Kukup ternyata membuat badan kami gerah dan yang jelas pakaian menjadi kotor karena bergesekan dengan tanah, akar, dan pohon.
Setelah beberapa kali mampir di sungai yang tidak sesuai dengan keinginan,
kami pun akhirnya menemukan sungai yang lumayan enak untuk diceburi. Para cowok sih dengan gembiranya langsung nyebur ke tengah sungai, kami para cewek hanya
menunggu di tepi sungai sambil membersihkan diri.
Karena saat itu hari sudah siang, bahkan sudah azan zuhur, kami agak
kelaparan. Sebagai cemilan pengganjal perut, kami pun membuka mie instan untuk
dimakan langsung. Ya, tanpa dimasak. Kalau istilah orang Banjar, mie bekaring.
Sedapnya, makan mie bekaring di tepi sungai.
Setelah beres di sungai kami
pun langsung berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing. Pengalaman yang
seru, gak rugi rasanya meski kulit jadinya gosong begini.
Mbak kalau pasir dan batu ditambangin kira2 bikin erosi gk ya? Saya jg suka kasian kalau liat pekerja tambang gtu, kadang jg upahnya tak seberapa :(
BalasHapusSeru banget mendaki gtu ya. Saya paling kalau mendaki dah ngos2an hihihi
TFS
Iya, bikin erosi, kasian yg di bawahnya Mbak.
HapusMasyaallah indah alam nya. Saya sudah lama ga camping. Tapi memang ga pernah mendaki. Apalagi tebing curam. Pasti segar udara di sana y mbk.
BalasHapusSegar banget, Mbak.
HapusSerunya, jalan-jalan rame-rame ada suami pula dalam rombongan. Ini nih namanya romantis mbak
BalasHapusIya, jalan2 sekaligus pacaran.
HapusRindaang...kuat banget staminanya.
BalasHapusAku pernah ((mirip-mirip gini)) lalu sampai tengah jalan, nangis.
Alhamdulillah waktu itu pengantin baru...sama suami dikasih semangat.
Akhirnya tiba di puncak, legaaa rasanya.
Iya, sesekali begini biar olahraga sambil jalan2.
Hapusmelihat pemandangan alam Nateh mengingatkanku akan kampung halaman, Mbak. Persis, syukurnya sekarang jalanan ke kampungku enggak jelek lagi kayak Nateh, udah beraspal. Btw jalan desa Nateh kok engggak diperbaiki sampai bagus ya, kan udah ada dana desa kalau memang tidak ada proyek dari dinas PU
BalasHapusOh, gitu ya Mbak. Ini memang kecamatan paling ujung sebelum berbatasan dengan gunung dan kabupaten tetangga.
HapusOh nice, tertantang rasanya.
BalasHapusTapi tidak ada hal yang aneh kan dengan tempatnya? Secara semalam cerita hantu.
Pernah saya mengiring murid ke perkemahan. Kami masak tetapi tidak bisa matang ternyata spot tsb ada penunggunya. Pindah geser dua langkah bisa matang.
Halah. Halah
gak ada sih yg anhe, alhamdulillah.
HapusKalo sempet liat sungai gitu bawaan saya pasti pengen berenang, berendam plus mancing wkwkwkwk.
BalasHapusCamping bisa jadi alternatif yang bagus buat liburan, terus-terusan ke hotel kan bosen juga kan.
Iya, kalau ke hotel itu khusus cuci mata dan cuci uang. Kalau ke gunung free HTM, hehe
Hapusliburan travelling kepedesaan kayanya seru ya mba bisa refreshing sekaligus menyegarkan otak dan pikiran juga tapi, travellingnya jangan sendiri soalnya ga enak nanti ga kuat sendirian.
BalasHapusIya, kalau ini mah harus rame2 Mas
Hapuswahh jadi kangen masa2 SMA dulu pas masih sering-seringnya camping bareng temen
BalasHapusNostalgia ya
HapusDuh, jadi kangen masa-masa masih aktif di Pramuka. Tendanya masih model jadul pula gitu. =D
BalasHapusIya, jadul banget ini biar bisa muat banyak.
HapusMasya Allah.. sungainya Mbak.... Bikin pengen nyemplung! Seru banget ya Mbak acara kemah plus naik gunungnya. Saya kapan bisa kayak gitu. Huhuhu. Mimpi dulu aja kali yaa :D
BalasHapusAyo Mbak, dicoba refreshing ke gunung.
HapusSalut banget kak. Masih bisa nyelipin waktu tugas suami dengan traveling. Plus camping lagih. Pasti nyenangin banget. Banyak cerita seru dan yang paling penting bisa nikmatin alam. Asikkkk
BalasHapusAsyik banget.
HapusWah enak banget ya naik gunung bersama suami gitu. Tapi sayang ya batunya ditambang gitu berpotensi longsor jadinya tapi mau bagaimana kalau sudah menjadi matapencarian orang ya. Susah juga jadinya.
BalasHapusIya, serba salah jadinya Mbak Dwi.
Hapus