Namun, kenangannya mengabadi dalam ruang rindu.
Kita menyebutnya rumah cahaya.
Rumah baca dan tempat menghasilkan karya.
Meski hingga akhir, kegiatannya hanya berupa perpustakaan berjalan.
Ini bukan sekadar ‘hanya’.
Ini lebih dari perkumpulan mahasiswa yang suka membaca.
Juga lebih dari komunitas menulis saja.
Tapi hasrat untuk membumikan buku, yang tidak banyak orang suka.
Meski rumah, ia tak beratap.
Tentu saja juga tak menetap.
Tak ada rak buku, hanya kardus mie yang menjadi tempat.
Menginap di kamar-kamar kos yang temaram.
Berkendara di pagi Minggu dengan roda dua.
Beriringan membelah Banjarbaru hingga Martapura.
Lalu singgah di Alun-alun Ratu Zaleha.
Rumah cahaya terbangun dengan segera.
Beralas karpet, di bawah rindangnya pohon besar.
Jika hujan tiba, kita bergegas lari ke bangunan terdekat.
Untuk menyelamatkan harta berharga berupa timbunan kata.
Yang susah payah kita kumpulkan.
Dari sumbangan pribadi, hingga pengajuan proposal yang diterima penerbit.
Rumah cahaya benderang tak lebih dari 5 jam dalam sepekan.
Namun, kontinuitas kita mendapat apresiasi.
Selalu ada yang kembali setiap minggu.
Baik bapak-bapak yang rutin berolahraga pagi, hingga seorang ibu yang membawa putrinya.
Belum lagi kelompok anak sekolah yang senang merubung di sudut tempat komik berada.
Rasanya bahagia.
Melihat buku di tangan mereka sembari duduk-duduk di bangku taman atau ikut melapak beralas koran.
Lalu, apa kabar kita?
Lampu-lampu yang dulu menerangi rumah cahaya.
Kini redup, kini gelap.
Banjarbaru bukan lagi tempat kita.
Kampung halaman memanggil setelah wisuda.
Kita usai bukan karena ingin.
Meski lampu-lampu itu telah diganti dengan yang baru.
Tapi tak lebih dari sekadar formalitas organisasi.
Regenerasi.
Sekali dua kali, pernah kudengar kabarnya kembali bergerak.
Rindunya aku ada di sana.
Tapi jauh lebih rindu andai rumah cahaya kembali menjadi pekanan.
Atau bahkan lebih lagi.
Punya rumah sendiri dan benar-benar benderang membagi cahaya.
Dengan ilmu dan karya.
Lampu-lampu itu tak mati, hanya berpindah tempat.
Semoga di rumah baru pun tetap menjadi lampu.
Lampu berpena yang bermain kata.
Wah aku selama di bjb kok gak pernah ketemu ya. Huhuhu padahal anakku suka banget membaca. Padahal ini kalo open donasi, banyak loh yang mau sumbangin buku. Nanti kalo open donasi buku boleh tag aku, aku mau loh bantu ngumpulin dari orang2 disekitarku
BalasHapusSip2. Mantap Mbak, ini nongkrongnya di alun2 Ratu Zuleha mereka Mbak.
HapusPindah kemana mba? Semoga tetap benderang menerangi ya, supaya paparan buku ada di mana2, mengimbangi paparan gadget generasi millenial. Semoga tetap berjalan, menjangkiti daerah lain juga
BalasHapusAamiin, akunya yang pindah Mbak. Hehe. Jadi ga bisa ikut menyertai mereka lagi.
HapusWah aya baru tau ada tempat yang kaya gini di bjb, keren banget��, entah kenapa aya kurang minat untuk membaca, aya lebih minta buat melihat atau mendengar, makanya aya suka sama buku yang banyak gambar nya ��
BalasHapusAya berarti tipe audio visual, karena suka lihat gambar dan mendengar suara.
HapusWah, ini dbjb ya? Ak pngen loh ikutan gini. Rasanya pasti seneng banget liat orang pada baca buku yg kita kumpulin kan. Kalau rumah cahaya bergerak n berpindah kebanjarmasin let me know y mb rindang.he
BalasHapusSiap, mbak Winda!
HapusSeru ya kalau ada yg beginian, jadi sambil santai bisa juga sekalian baca buku gitu. Kalau aku pasti dah ada dipojokan sudut novel kalo ada yg beginian. Hihi
BalasHapusOh, Rima suka baca novel juga ya.
HapusWih dmn itu mba, baru tau eny hehe.. pengen deh mampir hhe
BalasHapusDi Alun2 Martapura, En.
HapusSemoga regenerasinya punya semangat dan tekat yang kuat juga untuk melnjutkan rumah baca ini ya mbak 😊
BalasHapusAamiin.
Hapus