Sebuah kota adalah rumah bagi banyak orang. Kota
dapat menyimpan kenangan personal di setiap sudutnya. Di jalan-jalan lengang,
di pusat kota yang ramai, di sudut taman kota, atau bahkan di sebuah warung
makan malam. Kota hidup dan menghidupi penduduknya dengan cerita turun-temurun.
Generasi berganti, tapi wajah kota akan tetap sama.
Setiap orang pasti memiliki kota-kota favorit dari
beberapa kota yang pernah ia tinggali. Aku sendiri punya tiga kota berkesan
yang nyaman untuk kutinggali. Meskipun tidak semuanya berarti secara harfiah,
ketiga kota tersebut menjadi kampung halaman bagiku pribadi.
Banjarbaru
Salah satu kotamadya di Provinsi Kalimantan
Selatan ini merupakan kota kelahiranku. Awal Ramadhan tahun 1912 Hijriah, aku
dilahirkan di rumah sakit Kota Banjarbaru. Rumah semasaku bayi hingga usia 5
tahun berada di area hutan pinus. Mungkin itu salah satu mengapa bapa
terinspirasi memberi namaku Rindang.
Sekarang, hutan pinus tersebut dijadikan objek
wisata oleh pemerintah kota. Beberapa waktu yang lalu aku berkunjung ke sana,
menyusuri tepi perigi kenangan. Berayun di hammock
dan pikiranku melayang ke masa kecil yang bahagia. Sangat bahagia.
Setiap pagi, ketika aku sudah memasuki usia
sekolah, aku akan dibonceng bersepeda oleh mama. Mama mengayuh sekitar dua
kilometer dari rumah hingga TK. Terkadang, kami mampir sebentar untuk sarapan
lontong di sebuah warung kecil sebelah kanan jalan. Aku tidak tahu, apakah saat
itu warung makan Sari Alam –warung makan favoritku sekarang, sudah ada atau
belum. Ada banyak kenangan lain yang terlintas, hingga akhirnya kami sekeluarga
pindah ke kampung halaman orang tuaku.
Waktu berlalu, aku tumbuh dan sudah saatya kuliah.
Aku kembali memilih Banjarbaru sebagai kota menimba ilmu. Aroma Banjarbaru
terlalu kuat di tubuhku, sehingga aku langsung akrab dengan suasanannya di
tahun pertama kuliah. Itu sangat membantu mengusir homesick ala introvert sepertiku.
Terlebih, ada banyak pribadi baru yang kukenal dalam rentang lima tahun aku
berkuliah. Banjarbaru semakin hangat karenanya.
Yogyakarta
Siapa yang tidak jatuh cinta dengan kota ini? Aku
yang bahkan hanya bermukim tidak lebih dari dua bulan di sana, selalu
menganggap kota ini hommy. Memanggil
untuk pulang. Pulang ke mana, pulang ke siapa. Entah. Yogyakarta seperti
membuka tangan lebar-lebar untuk setiap pendatang, terutama pelajar.
Begitulah yang terjadi padaku. Aku ke sana untuk
belajar bekerja dari Senin pagi hingga Jumat sore. Malam-malamnya adalah waktu
kuliner terbaik dengan menjajal berbagai pilihan menu di angkringan dan makan
di atas trotoar. Sabtu Minggu kuhabiskan di Alun-alun Kidul, Parangtritis,
Bukit Bintang, Merapi, Benteng Vredeburg, Gembira Loka, hingga Malioboro. Belum
lagi tur gratis ketika jam kerja karena ada program di lapangan. I love it!
Salah satu hal yang paling kusukai dari Jogja
adalah area kotanya yang kecil. Aku yang pecinta peta ini dipuaskan dengan
membaca selembar peta berwarna kuning –yang entah kudapat dari mana- dan
menjelajahinya dengan sepeda motor hasil pinjaman. Bahkan mungkin aku lebih
hapal jalan-jalan kecil di Jogja daripada jalan tikus di Banjarmasin, ibukota
provinsiku sendiri. Terlebih, Ring Road menjagaku agar tak keluar jauh dari kota.
Aku juga suka konsep arah mata angin untuk menunjukkan tempat, hal yang tidak
bisa kutemukan di Kalimantan.
Rute yang menjadi kenangan terbaik selama di Jogja
tentu saja adalah jalur yang kulalui setiap hari kerja dari kos ke kantor.
Mulai dari jalan Dr. Soepomo dekat UAD, lalu keluar ke jalan besar. Berhenti sebentar
jika sedang sial dihadang oleh lampu merah, lalu belok kiri. Terus
saja mengikuti jalan, sedikit berkelok hingga melewati rel kereta api. Lokasi
kantor yang berada di jalan Bima Sakti nomor 1 sudah tidak jauh lagi. Ketika
bertemu dengan pertigaan, lurus saja maka aku akan langsung masuk ke halaman
kantor. Kenangan di kepalaku berputar deras ketika aku menulis ini.
Barabai
Seandainya kota adalah organ tubuh, maka Barabai
bagiku adalah jantung. Di sinilah keluarga besarku hidup (dan meninggal). Aku
pun sepertinya akan melanjutkan tradisi tersebut, belum ada rencana untuk
tinggal di luar Kota Barabai. Meski pikiran liarku sebenarnya menginginkanku
pergi merantau ke benua-benua jauh untuk menimba ilmu dan mereguk pengalaman
baru.
Aku tinggal di Barabai sejak kelas 1 SD hingga
kelas 12 SMA. Pergi sebentar, lalu kembali lagi di tahun 2015 untuk bekerja
hingga sekarang. Apa yang paling kuingat dari Barabai? Semuanya. Karena aku
masih di sini, maka semuanya masih nyata. Belum menjadi kenangan yang
kurindukan. Tempat-tempat yang menjadi sejarah tentu saja adalah ketiga
sekolahku dan sebuah perpustakaan kota yang sunyi. Tempat nongkrong? Emm, belum
ada yang sreg banget di aku.
Sebagai pribadi yang butuh banyak pengalaman dan
hiburan, Barabai sebenarnya kurang cocok untukku. Jalanannya yang sepi,
kurangnya area publik, minimnya pengelolaan tempat wisata adalah hal-hal yang
mudah kuingat tentang Barabai. Namun, Barabai menghidupiku dengan keluarga yang
baik, pertemanan yang harmonis, serta kedamaian yang sunyi.
Ada banyak penduduk kota besar yang sepertinya bersedia menukar setengah harta mereka dengan hal-hal tersebut untuk masa pensiun mereka. Aku sudah memilikinya.[]
Ada banyak penduduk kota besar yang sepertinya bersedia menukar setengah harta mereka dengan hal-hal tersebut untuk masa pensiun mereka. Aku sudah memilikinya.[]
Posting Komentar
Posting Komentar