Hari ini, Sabtu 24 November 2018 kuhabiskan di rumah saja. Musim hujan membuat semangatku keluar rumah luntur bersama derasnya air dari langit yang bisa turun berkali-kali dalam sehari. Dismenorhae juga memenjaraku di kamar, tak mengizinkanku untuk merasa nyaman di tempat lain selain di tempat tidur. Aku meringkuk, membaca buku.
Buku yang kupilih hari ini adalah sebuah novel yang kubeli setahun lalu. Baru kubuka dari plastik pembungkusnya dan buru-buru kutinggalkan catatan kepemilikan di halaman pertama. Anak Bakumpai Terakhir judul novelnya. Aku merasa tidak asing dengan kata Bakumpai, nama sebuah suku di Kalimantan. Hal tersebut pulalah yang membuatku dulu memutuskan untuk membelinya. Sayang, aku tidak menemukan biodata penulisnya di dalam novel ini. Rendah hati sekali. Seperti biasa, aku penasaran dengan penulis yang menulis tema-tema lokal seperti ini.
Novel ini memuat banyak tema dalam satu kehidupan Aruna, sang tokoh utama. Meskipun ada banyak hal, semuanya mengerucut pada satu hal yaitu kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan. Hal yang sangat luas, tapi direfleksikan penulis pada kehidupan seorang Aruna. Aku sendiri sangat tertarik dengan kehidupan Aruna, jika ia memang benar-benar ada dalam kehidupan nyata.
Novel dibuka ketika Aruna berusia 9 tahun. Aruna kecil yang keras kepala dan cenderung pembangkang berusaha kabur dari acara adat penyembuhan sepupunya. Dari sanalah cerita-cerita Aruna dari sudut pandang pertama dimulai. Mulai dari puhun sadatu di tengah hutan hingga terdamparnya seekor paus di tepi pantai.
Kehidupan masa kecil Aruna sangat bahagia. Bersama Samudera, sepupunya, ia mengukir kenangan indah sebagai anak Suku Bakumpai asli. Mulai dari menyelamatkan seekor anak macan tutul hingga mengikuti perlombaan rakit bersama. Masa kecil yang manis. Semuanya berubah ketika Samudera harus pergi.
Kehidupan Aruna hilang arah, ia kehilangan teman bertualangnya. Hal tersebut membuatnya mengurung diri di rumah. Beruntung ada Kai (kakek) yang sering mengajaknya ke hutan untuk memantau titik api karena mulai sering terjadi kebakaran di hutan sekitar mereka. Hal tersebut berlangsung hingga terjadi bencana yang tidak mereka kehendaki dalam suatu perjalanan mengembara.
Setelah itu, waktu dipercepat penulis hingga lima tahun kemudian. Aruna bertemu dengan Eliyana, seorang dokter yang datang untuk meneliti efek cemaran logam berat terhadap kesehatan penduduk di sekitar aliran Sungai Barito. Ia juga seorang pecinta lingkungan. Aruna merasa mendapat teman baru dalam memperjuangkan keasrian Bumi Kalimantan.
Ada banyak masalah serius yang mengancam lingkungan hidup di sekitar tempat tinggal Aruna. Mulai dari penebangan pohon liar, pembakaran hutan yang disengaja, penambangan emas yang menyisakan limbah beracun, hingga konversi lahan menjadi perkebunan sawit. Akankah Aruna dapat berpartisipasi mengatasi semuanya?
Di sisi lain, sebagai keturunan langsung Patih Bahandang Balau, nenek moyang Suku Dayak Bakumpai asli, Aruna memiliki misi yang cukup berat. Ia harus mencari Avara yang telah dijodohkan dengannya, karena Avara juga mempunyai darah murni seorang Suku Bakumpai. Mereka harus melestarikan Suku Bakumpai yang jumlahnya mulai langka. Namun, itu bukan hal mudah. Avara tidak tinggal di Kalimantan, sejak kecil ia dibawa oleh orangtua angkatnya ke seberang pulau.
Bagaimana kisah selengkapnya? Simak sendiri di novelnya ya. Aku sudah terlalu banyak spoiler dengan menulis sebagian besar cerita di atas. Satu kata yang dapat menggambarkan novel ini adalah menarik.
Bab paling menarik dari novel ini adalah bab yang berjudul Sekolah dan Lomba Rakit. Hanya di bab tersebutlah aku tertawa sepanjang waktu. Tingkah Aruna dan teman-teman sekelasnya sungguh lucu. Aku jadi teringat dengan novel Laskar Pelangi saat membaca bab ini.
Ada banyak tokoh yang terlibat di dalam novel ini. Tokoh favoritku selain Aruna sebenarnya adalah Samudera. Namun, di akhir cerita dia mengecewakanku. No no no. Tokoh lain yang cukup menarik adalah Avara. Sayang, dia hanya hadir sebentar. Aku mengharapkan partisipasinya lebih banyak dalam cerita ini. Dan tentu saja keputusannya cukup dibutuhkan dalam mengubah ending yang belum sesuai harapanku. Hehe.
Tokoh yang cukup kukagumi kepribadiannya adalah Kai dan Apa, kakek dan ayah Aruna. Mereka berdua mempunyai ketegasan yang sama bagusnya. Meski mempunyai karakter terkesan cuek yang membuat orang lain bisa salah paham. Adakah tokoh yang kubenci? Jika boleh, tentu saja Awahita, bibi Aruna dan ibunya Samudera. Masa ia tidak datang saat orang tuanya meninggal?
Konflik yang terjadi dalam novel ini cukup banyak. Pertama, gesekan kepentingan antara para pengusaha dan penduduk asli hutan Kalimantan. Ada banyak peristiwa terjadi akibat kerusakan lingkungan hidup. Kedua, konflik keluarga. Pembangkangan Awahita terhadap Kai membuat semuanya jadi runyam. Kehidupan keluarga Aruna sedikit banyak terpengaruh karenanya. Aku rasanya ingin meneteskan air mata ketika Samudera bilang ia tidak punya rumah di Barito pada halaman 244. Ketiga, konflik batin Aruna karena harus menikah dengan Avara untuk melestarikan keberadaan suku mereka.
Mengenai setting tempat, aku masih agak meraba-raba. Entah lokasi yang digambarkan penulis sebagai kampung halaman Aruna memang benar ada atau tidak, nanti akan kucari tahu. Kampung Tumbang Topus namanya. Di awal-awal bab, kampung ini diceritakan berada dalam wilayah Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Namun, di beberapa bab lain kampung ini seolah-olah lebih dekat ke Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Boleh jadi, kampung ini memang berada di perbatasan. Selain itu, Aruna dan tokoh lainnya lebih akrab menyebut kampung mereka dengan nama Barito. Mungkin untuk menandakan bahwa mereka tempat tinggal mereka tepat di tepi Sungai Barito.
Hal lain yang membuatku bingung tentang setting tempat adalah ketika Aruna dan Eliyana berkunjung ke crash Sangkuriang, Goa Tewet, dan Bukit Bangkirai pada bab Ancaman Sesungguhnya. Aruna menjelaskan secara naratif seolah-olah berkeliling Kalimantan itu mudah sekali, hanya dengan menggunakan perahu ketingting maka sampailah di tempat tujuan. Tidak salah juga sih, karena Aruna tidak menyebutkan mulai mana mereka berperahu. Namun, yang ingin aku tekankan adalah bahwa Kalimantan itu luas sekali. Sangat luas. Aku sendiri masih belum menjelajah dua provinsi di Kalimantan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara. Padahal lahir dan besar di Pulau Borneo.
Aku cukup salut dengan penulis novel ini yang bisa mendeskripsikan sebuah tempat dengan jelas. Padahal ada banyak lokasi yang menjadi latar cerita dalam novel ini. Aku sendiri tidak menyangka bahwa perjalanan Aruna akan sampai di Mahameru, beratus kilometer dari hutan Kalimantan tempat asalnya. Bahkan Everest! Gunung tertinggi di dunia tersebut juga ambil bagian menjadi latar dalam cerita ini, meski hanya dijajaki oleh dua orang tokoh dalam novel ini.
Aku tidak terlalu yakin mengenai setting waktu. Novel ini terbit pada tahun 2013. Boleh jadi penulis mengambil latar tempat dan suasana pada waktu ia menulis, tahun di atas 2010 atau bisa juga sebelum itu. Terutama karena pergerakan waktu di novel ini berlalu begitu cepat. Ada dua kali lompatan waktu seingatku, yaitu sebelum kedatangan Eliyana dan saat Epilog. Juga masa-masa Aruna kecil, aku tidak mendapat gambaran sekitar tahun berapa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
Mengenai sampul dan judul novel ini, tidak ada yang mengangguku. Warna sampul yang gelap sesuai dengan konflik kelam di dalamnya. Judulnya pun tepat, setepat-tepatnya. Ilustrasi sebuah sisa batang pohon ditebang dengan sebuah tunas pohon kecil di atasnya juga sudah sangat pas.
Mengenai penulisan, penulis banyak menggunakan istilah dalam bahasa Dayak Bakumpai di dalam novel ini. Hal ini menambah unsur lokalitasnya semakin kental. Aku sendiri punya beberapa teman dari suku ini saat kuliah dulu, sehingga merasa sedikit akrab dengan bahasa yang Aruna dan keluarganya gunakan saat bercakap-cakap.
Alur yang digunakan novel berjumlah 263 halaman ini adalah alur maju mundur. Dominan alur maju sih, alur mundur hanya digunakan saat epilog dan beberapa kilatan ingatan Aruna tentang suatu peristiwa. Meski kadang di beberapa bab, tidak menceritakan peristiwa, hanya sekadar pengetahuan sekilas dan berhubungan dengan kehidupan Aruna. Misalnya pada bab Hikayat Banjar. Well ya, novel dengan kearifan lokal seperti novel ini tentu harus memuat banyak informasi agar pembaca dapat paham situasinya. Aku sendiri kadang-kadang merasa kebanjiran informasi di beberapa bagian.
Belum lagi tentang penelitian ilmiah dan sebagainya. Penjelasan tentang DNA oleh Eliyana –yang padahal kupelajari dalam mata kuliah Genetika- membuatku agak pusing karena ditulis dalam bahasa yang menurutku begitu teoritis. Oh Avara, kamu harus membuat ini lebih mudah *kode. Sedangkan informasi mengenai kerusakan lingkungan, pencemaran oleh limbah, dan efek sampingnya sedikit membuatku bersemangat. Aku tertarik karena aku juga sedang terjun di bidang ini sekarang.
Baru buka plastik, dibeli setahun lalu |
Amanat yang hendak disampaikan penulis dalam novel tentu saja sangat mudah diterima. Bahwa kita harus menjaga alam dengan baik. Implementasinya ada banyak cara, pilihlah cara yang kau mampu. Novel ini sedikit mengingatkanku dengan novel Catatan Ayah tentang Cintanya kepada Ibu dari Sandy Firly. Temanya mirip tentang eksploitasi lingkungan juga, latarnya juga di Pulau Kalimantan tapi lebih spesifik yaitu di Loksado, Kalimantan Selatan.
Menurutku pribadi, ada beberapa bagian dari buku ini yang bisa dihilangkan karena kurang efektif. Seperti epilog mengenai orang-orang asing itu, kecuali tentang Avara kecil. Bagian di Everest juga tidak menyumbang banyak untuk alur cerita. Akan lebih baik seandainya cerita detail perjalanan Avara di Pegunungan Muller (Meratus) yang diceritakan. Dan ending-nya, please ubah agar lebih membahagiakan. Agar ketiga konflik di atas bisa diselesaikan dengan indah. Maaf, aku pembaca yang otoriter. Hehe.
Wah, ternyata sudah cukup banyak aku mengoceh tentang novel ini. Bagi kamu yang menyukai novel-novel bertema lokalitas, wajib banget baca Anak Bakumpai Terakhir. Aruna menunggumu. []
Mbak Rindang sangat paham tentang Kalimantan ya. Nama-nama daerah dan lokasi semuanya nama yang baru saya dengar.
BalasHapusSebagai pembaca, saya juga sering jadi pembaca yang "otoriter", maunya ending sesuai harapan saya. Mungkin karena itu, saya kalau baca novel lihat endingnya dulu seperti apa. Hehehe
Boleh nih jadi buku incaran untuk dibaca, kayaknya menarik mbak. Lagian aku sedang cari buku yang bisa membuatku bisa betah baca
BalasHapusAku suka dengan novel yang memuat kearifan lokal seperti ini. Apalagi ada cerita dari Kalimantan. Beberapa teman aku yang pindah tugas ke sana juga punya banyak cerita menarik yang begitu seru karena lokalitas begitu kental*
BalasHapusSeruuu baca sinopsisnya. Jadi penasaran hihihi .... buku ini menggambarkan keindahan budaya dan alam Kalimantan ya mbak, penasaran karena aku belum pernah ke sana
BalasHapusWalaupun aku kurang mengerti masalah buku.tapi membaca tulisan mba rindang aku rasa buku ini sangat seru apalagi aku juga menyukai yg lokal-lokal kaya gini dan masalah suku seperti ini.apalagi ada pesan moral nya tentang menjaga alam,Wah seru banget...
BalasHapusnovel dengan cerita yang cukup kompleks ya kak. dengan tokoh yang beragam dan karakter yang berbeda. menarik juga ceritanya karena berlatar belakang kalimantan. ntar aku mau cek novelnya akh
BalasHapusBikin mupeng bukunya. Beli di mana Mna Rindang?
BalasHapusJadi terlepas dr kekurangan novel ini, sebenarnya tema yg diangkat bagus ya mbak? Mengenai kelestarian lingkungan gtu...
BalasHapusBtw aku sendiri blm punya kesempatan menjelajah Kalimantan msh sebatas Banjarbaru dan Banjarmasin. Pdhl suami dulu pindah2 sih rmhnya di Borneo bahkan sempet tinggal di hutan yg dibuka buat transmigrasi😀
Noted judulnya, Anak Bakumpai Terakhir.
Saya suka dengan novel lokalitas, tapi biasanya masalah saya dengan novel bertema lokalitas seperti ini adalah saya kurang suka dengan gaya penceritaannya, dan kadang typo nya juga banyak. Tapi itu cuma derita saya sendiri saja sih, hehehe
BalasHapusAku pun suka novel dengan nilai lokalitas yang kuat seakan mengajakku untuk menjelajah ruang dan waktu yang berbeda dengan bahasa dan budaya yang berbeda juga, dan baca review buku ini membuatku ingin membaca novelnya
BalasHapusAku baru dengar nama Bakumpai, dan baru tau juga kalau itu nama suku. Umumnya sih aku taunya Dayak, hehe
BalasHapusKeren ya penulisnya. Rendah hati. Tapi kalo nyari namanya di ig, ada kan?? Hehe
Hmm,, kesan etniknya masih dapet banget ya, memang sebuah konflik yang lazim sebetulnya, ada positif dan negatif juga. Dibungkus dengan kisah menjadi lebih mudah dicerna jadinya.
BalasHapusTokohnya bernama Aruna, jadi ingat buku dan film aruna dan lidahnya.
BalasHapusBtw Aruna ini nama wanita khas kalimantankah?
Soalny Aruna yg itu jg latar setingnya kalimantan.
aduh udah lama banget nih aku gak baca novel, jadi kangen pengen baca novel lagi setelah baca-baca review ini.. apalagi kalau novel budaya kaya gini bisa nambah banyak pengetahuan juga
BalasHapusCeritanya ada budayanya gitu ya mbak. Jadi sedikit belajar juga sepettinya kalo baca buku itu 😊
BalasHapusWah.. 1st time baca judulnya ak pikir ini bkl byk cerita asal bakumpainya. Ak prnh pny tmn yg bs bahasa it, aduh lucu bangett.. Btw, soal kalimantan kita sm mb.. Ak jg blm pernah ke kalbar.. Pdhl Kalimantan luas y. Ah jgnkn ke kalbar, di kalsel aj bkm dijelajah bnr2. *halah curhat
BalasHapusKalau mirip laskar pelangi, aku jadi pengen bacanya. Adakah bocoran harganya mbak? Kemaren beli bukunya dimana
BalasHapusWait mbak, mau bilang kalau kita tu sama deh. Aku juga beberapa hari lalu baru baca buku yang kubeli 1 tahun lalu. Parah banget. Belum pernah kayak gini sebelumnya.
BalasHapus