Aku agak clueless kalau harus bercerita tentang mudik. Masalahnya adalah aku
(dan keluarga) tidak mudik kemana-mana. Mama papa tinggal di kota yang sama
dengan kakek-nenek, aku dan suami juga bahkan tinggal di kota yang sama. Boleh dibilang,
keluarga kami bukan perantau lama dan jauh.
Papa pernah kerja jauh tapi hanya pergi
sendirian, tidak memboyong kami sekeluarga. Sebulan sekali dulu beliau pulang. Sekarang,
beliau sudah pensiun dan digantikan oleh adikku. Adikku yang bekerja di sektor
yang sama tapi beda perusahaan sekarang hanya pulang saat waktu cutinya datang,
sekitar dua bulan sekali.
Aku sendiri cuma merantau saat kuliah
di kota berjarak 4 jam dari rumah. Sekarang sudah kerja, ya balik lagi ke kota
asal. Jadi kalau lebaran, otomatis semua anggota keluarga inti pada ngumpul
semua di rumah.
Sebaliknya, kota dan kampung kami
adalah tujuan mudik para keluarga yang tinggal jauh. Setahun
sekali saat lebaran mereka ‘pulang’ untuk bersilaturahmi. Para keluarga ini
kebanyakan dari pihak papa, kalau keluarga dari pihak mama ngumpul semua di
sini.
Meskipun tidak pernah merasakan
keseruan saat mudik, tapi aku bersyukur. Setidaknya aku tidak perlu pusing memikirkan
teknis dan biaya mudik setiap tahun. Ramai dibicarakan di medsos, tiket pesawat
terbang harganya tinggi sekali di masa mudik menjelang lebaran.
Aku pernah juga membaca
curhatan seseorang di status Facebooknya kalau sebenarnya tidak semua perantau
itu berhasil di tanah orang. Sehingga tidak semua perantau juga yang sanggup
untuk mudik setiap tahun. Di kampungnya, ekspekstasi masyarakat kepada para
perantau memang tinggi dan itu menjadi beban mental baginya dan keluarga. Sehingga
jika keuangannya sedang pas-pasan, ia dan keluarga memutuskan untuk tidak
mudik.
Aku sendiri sebenarnya
sangat ingin mencoba tinggal di kota/negeri orang, mengecap ilmu dan pengalaman
baru. Tapi belum ada kesempatan yang tepat untuk mewujudkannya. Setidaknya aku
masih bisa berkumpul dengan para sanak saudara di sini. Itu adalah kemewahan
bagi para perantau. Aku sendiri sebenarnya tipe traveller yang homesicker.
Aneh memang.
Bagaimana pun pilihan hidup yang dijalani, menjadi
perantau atau tetap tinggal di kota sendiri, silaturahmi dengan keluarga harus
tetap terjaga. Mudik tidak harus saat lebaran jika faktor finansial atau waktu
yang sempit (belum lagi ditambah macet!) tidak mendukung. Silaturahmi juga
tidak mesti bertemu, bertukar kabar via media sosial saja sudah termasuk
menjaga silaturahmi. Keep it simple.[]
Posting Komentar
Posting Komentar