Kali ini aku akan mereview satu
buah buku yang baru saja selesai kubaca. Sebenarnya dari judul dan covernya,
aku merasa tidak ada yang istimewa dari buku ini. Bergambar sebuah botol
berwarna putih dan ada gambar kambing di dalamnya, tidak membuatku tertarik.
Aku hanya sedang kehabisan bacaan saja saat itu.
Judul: Kambing dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang
Tahun terbit: 2015
|
Di bab pertama diceritakan
bagaimana mereka berdua bertemu di atas bus. Meski itu bukan pertemuan pertama yang
sebenarnya karena sebelumnya mereka sudah sama-sama kenal. Mereka tinggal di
desa yang sama sehingga mustahil untuk tidak saling mengetahui.
Di bab pertama ini, akar konflik
mulai terlihat. Ternyata meski berasal dari satu desa, ternyata mereka berada
di dua kelompok yang berseberangan. Si perempuan bernama Fauzia, merupakan
orang selatan dan Mif, si pria adalah orang utara. Selatan dan utara merujuk pada
dua masjid yang berada di Desa Centong, nama desa mereka.
Di tengah-tengah buku diceritakan
bahwa jamaah kedua masjid ini memiliki perbedaan pandangan mengenai beberapa
teknis ibadah. Diketahui kemudian bahwa masjid selatan merupakan pengikut
Nahdlatul Ulama, sedangkan masjid utara adalah pengikut Muhammadiyah.
Corong konflik di novel ini
sebenarnya adalah milik Pak Is dan Pak Fauzan, nama kedua orangtua Fauzia dan
Mif. Mereka bersahabat sejak kecil, tapi ‘terpaksa’ saling menjauh karena
perbedaan persepsi. Maka semakin peliklah urusan cinta kedua sejoli itu. Apakah
keduanya mampu bersatu dengan perbedaan yang sangat besar tersebut?
Tema yang diangkat penulis sekilas
mungkin memang hanya terlihat seperti roman, tapi nyatanya lebih berat dari
itu. Latar belakang tema yang menghiasi novel inilah yang berat. Menjabarkan perbedaan
pemahaman antara orang NU dan Muhammadiyah dalam beribadah bukanlah hal yang
mudah.
Bagiku ini sangat menarik. Di
kehidupan nyata saja, perbedaan-perbedaan antara kedua organisasi ini sering
bergesekan. Bagaimana jika ada di satu kampung atau bahkan di satu keluarga?
“Ini bukan lagi tentang masjid yang berbeda atau ormas yang saling bersaing, Mif. Ini tentang luka hati yang dalam dan tersimpan puluhan tahun.” – Halaman 165
Tokoh-tokoh yang ada di novel ini
memiliki karakter masing-masing yang kuat. Mif yang sabar dan Fauzia yang manja
menurutku sebenarnya bukanlah tokoh utama. Seperti yang kutulis di atas,
orangtua merekalah yang memiliki cerita dan mewariskannya kepada Mif dan
Fauzia. Bu Yatun, ibunya Fauzia, juga memiliki arti penting dalam cerita ini
karena diketahui bahwa beliau pernah menjadi cinta pertama Is remaja.
Dengan begitu banyak kemungkinan
konflik, novel ini begitu seru untuk dinikmati. Konflik paling puncak adalah
perkelahian antara Mif dan Fuad, kakak Fauzia, di balai desa. Meski
juga tidak di semua bagian terdapat konflik. Bagian yang mendominasi dari novel
ini sebenarnya adalah flash back
cerita Is dan Fauzan saat remaja. Sehingga novel ini menggunakan alur maju
mundur.
Novel ini menggunakan pov campuran. Pada bagian narasi
menggunakan sudut pandang orang ketiga, sedangkan di bagian menceritakan masa
lalu kebanyakan pov yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama.
Novel ini ber-setting
tempat di Desa Centong, Jawa Timur dan setting
waktu sekitar tahun 2000-an dan beberapa flash back ke tahun 1990-an. Sehingga penggambaran suasana dan
budaya di novel ini juga mengacu pada waktu dan tempat tersebut.
Gaya bahasa yang digunakan penulis mengalir dan enak dibaca.
Meskipun banyak menggunakan istilah dalam bahasa Jawa, tetapi novel dengan 324
halaman ini masih nyaman untuk diikuti.
Dengan segala banyak kelebihan yang dimiliki novel ini, tidak
heran jika ia bisa menjadi Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2014. Latar belakang penulis yang merupakan lulusan Sastra Indonesia
dan bekerja di penerbitan menurutku sangat mendukung terciptanya novel yang
luar biasa ini.
Ada banyak amanat yang tersebar di novel ini. Paling utama adalah
tentang bagaimana tidak perlu menentang orangtua meski berseberangan. Perbedaan
juga tidak seharusnya menjadi bahan bakar seteru, tapi harus disikapi dengan
bijak.
Tentang bagaimana cara juga menentukan hasil juga ada di novel ini,
untuk mencapai hasil yang baik juga seharusnya dilakukan dengan cara yang baik.
“Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan dengan menyiramkannya ke muka.” – Halaman 145
Selain itu, berbeda dengan kebanyakan novel teenlit yang temanya tentang perjuangan cinta. Cara penyelesaian di
novel ini sangat islami, mungkin memang si tokoh sempat ingin melarikan diri
tapi tetap menjaga batasan. Di novel-novel teenlit
dengan kasus tidak direstui orangtua, biasanya jalan ceritanya sering melanggar
norma-norma agama dan masyarakat.
Kesan lain yang kurasakan tentang novel ini adalah tentang euforia
memboyong ponakan bayi ke rumah keluarga dekat. Hal itu juga berlaku di
keluargaku, makanya aku merasa sangat relate
sekali dengan cerita ini. Sekarang saja, kami sedang keranjingan membawa bayi
ke rumah yang kebetulan ada dua di keluarga besarku.
Secara umum, novel ini banyak menyumbang wawasan baru kepada
otakku yang jarang terpapar dengan tema perbedaan pandangan dalam agama seperti
ini. Semoga lain kali aku ketemu novel bergizi seperti ini lagi.[]
Sama sepertiku, Mbak. Sama sekali aku ngggk teertarik dngn buku. Covernya kurang menarik, judulnya juga. Hehe. Kirain tentang peternakan gitu. Eh, teernyata keren banget gini isinya. Makasih, Mbak. Pengen baca jadinya ...
BalasHapusTapi cover barunyabbagus, membuat orang menarique
HapusPandangan pertama tak menggoda setelah dibuka ternyata wow....
BalasHapusPandangan pertama tak menggoda, setelah dibuka ternyata wow... 0
BalasHapusAsli gak mudeng kl lihat covernya.. Terimakasih mb tlh mereview buku ini. Semoga suatu waktu bisa ketemu buku ini
BalasHapusBelum pernah baca buku ini, tapi sudah ada di dalam almari. Alias buku yang lama dibeli, tapi belum juga terbaca sampai buku-buku baru sudah kian menumpuk di atasnya. Seharusnya aku baca ini dalam waktu dekat, setelah baca review Mbak.
BalasHapusSepertinya novelnya menarik buat dibaca, apalagi jadi pemenang sayembara pasti ceritanya keren tuh..
BalasHapusIni kayaknya menarik ceritanya. Settingnya terutama mengenai adanya perbedaan pandangan mengenai perihal ibadah dalam satu desa. Udah kayak blok timur dan barat
BalasHapusBukunya dicetak ulang ya mbak? Aku dulu nyari tahun 2015 udah habis, akhirnya pinjem temen. Dan gak nyesel udah minjem. (Lah, minjem nyesel mana ada? )
BalasHapusaku malah tertarik banget dg covernya, hehe. pengin baca tapi tunggu yg ada ini habis dulu.
BalasHapusWah, kalau Bapaknya Mif dan Ibunya Fauzia jadi menikah bisa-bisa jadi seperti mertua saya yang berasal dari satu kota, berserangan utara dan selatan dengan perbedaan teknis agama. Tapi akan lahir suami saya, bukan lahir Mif dan Fauzia yang saling cita.Hehehe.... Sepertinya saya juga perlu baca novel ini....
BalasHapusKata pepatah dont jaj e buk bai it kaver. Tapi novel dan kumcer terbitan bentang memang jaminan mutu
BalasHapusBerarti Kambing dan Hujan itu punya makna tersendiri, ya... Jadi penasaran pengen baca juga
BalasHapusSeru banget emang buku ini. Saya ketawa dan anngis di sepanjang film. Beli karena penasaran sama kata "kambing" huhuhu
BalasHapusaku cukup tertarik karena novel ini menang sayembara dkj, tapi isinya cukup "berat" gak sih? takut gak bisa menikmati hehehe
BalasHapusJadi pengin pinjam ke Mbak Rindang dan gak mengembalikannya. Penasaran tau!
BalasHapusMembaca ulasan mbak Rindang jadi ingin baca buku ini juga.. terima kasih mbak
BalasHapus