Di masa pandemi seperti ini kita dianjurkan untuk
melakukan physical distancing dengan
semua orang. Terdengar mudah tapi dalam praktiknya susah menurutku. Aku lebih
memilih untuk tidak kemana-mana agar tidak perlu melakukan physical distancing ke banyak orang.
Dalam budaya timur, physical distancing terlihat tidak sopan dan terkesan sombong. Meski
mungkin di masa pandemi seperti ini sebagian besar orang akan memaklumi, btw sehari-hari aku juga bukan orang yang
terlalu ramah di kehidupan sosial. Tapi tetap saja rasanya kurang nyaman
melakukan physical distancing.
Physical Distancing di Kantor
Pernah suatu ketika di kantor ada pelanggan yang
datang dari luar kota. Kemungkinan terpapar virus corona jauh lebih besar dong.
Tapi tetap saja kami tak bisa mengabaikan beliau begitu saja. Kami tetap harus
mengobrol dengan beliau meski menggunakan masker.
Tempat ruang tunggu tamu juga sudah disesuaikan
sedemikian rupa agar berada di teras, tidak lagi masuk ke ruang tamu. Aku dan
teman tetap harus keluar juga untuk menyambut si tamu. Tidak ada keharusan
dalam SOP kantor di masa pandemi seperti sekarang ini, tapi hanya untuk beramah
tamah sebentar. Setelah itu kami segera mencuci tangan sambil ngobrol bahwa
tidak enaknya kami seandainya kami melakukannya kurang dari itu.
Temanku yang lain suatu hari kedatangan tamu yang
ternyata temannya saat kuliah di kantor. Ketika temannya menyodorkan tangan ia
dengan refleks menolak. Maaf katanya bukan tak sopan, tapi karena physical distancing. Untunglah temannya
juga mengerti. Salaman memang tidak lagi kami lakukan bahkan dengan sesama
rekan kerja.
Meski untuk berkumpul-kumpul dengan sesama teman
kantor menurutku masih sulit untuk dihindari. Kantorku menerapkan half wfh sehingga saat giliran masuk
hanya ada 4 orang di kantor. Nah 4 orang ini kadang nggak bisa kalau nggak bergerombol
baik saat makan siang atau saat bersantai setelah beres kerjaan.
Saat awal-awal masa pandemi aku dan teman-teman
kantor sempat ada acara di rumah sakit kabupaten. Di sana kursi tunggu disekat
per satu kursi agar yang duduk bisa jadi lebih berjarak dengan yang lainnya. Tapi
karena terbiasa bergerombol dan ngobrol dengan sesama teman, kami tetap saja berkumpul
di satu titik tedekat dari kursi meski tidak bisa duduk. Sesusah itu memang.
Physical Distancing di Rumah
Di rumah, aku tentu saja tak bisa physical distancing dengan suami. Tidur sekamar
ini. Dengan orangtua dan mertua lumayan bisa, kecuali ya harus sungkem saat
pulang ke rumah.
Dengan anggota keluarga besar yang lain aku masih
mudah physical distancing-nya. Kecuali
dengan sepupu-sepupu kecilku yang memang masih bisa digendong dan terkadang
harus disentuh saking lucunya. Kadang aku harus menahan diri kalau baru pulang
dari kantor, takut saja aku sedang membawa virus sedang aku belum membersihkan
badan.
Dengan orang lain atau orang asing physical distancing tentu lebih mudah,
misal di pasar atau di toko aat aku membeli sesuatu, aku bisa dengan mudah
menjaga jarak. Jika bukan mereka yang menjauh maka aku yang akan menjaga jarak
dengan mereka. Untuk transportasi umum, aku tidak menggunakannya jadi lebih
aman.
Oya di surau di RTku tempat biasa aku melaksanakan
salat tarawih juga masih bersalaman, hanya mengurangi jumlah rakaat. Tidak salaman
rasanya aneh. Jadi sesegera mungkin setelah pulang tarawih aku akan mencuci
tangan. Di kampung kami memang masih terbilang aman, jaraknya 30 menit dari
kota kabupaten. Makanya salat tarawih masih dilaksanakan di surau.
Well, itu
tadi pengalamanku mempraktikkan physical
distancing. Kalau kalian gimana, susah juga atau biasa saja? Cerita di
kolom komentar ya. []
Posting Komentar
Posting Komentar