Beberapa waktu yang lalu aku menonton video dari Satu Persen tentang bagaimana cara mengatasi sifat toksik dalam diri sendiri. Video tersebut merupakan kelanjutan dari video yang bertema mengenali ciri-ciri sifat toksik. Nah alhamdulillah, karakterku tidak termasuk ke dalam tipe orang toksik (toxic people).
Tetapi aku pernah punya pengalaman berhadapan dengan satu orang toksik bahkan hingga saat ini. Sebenarnya ada banyak orang toksik yang pernah kutemui, tapi sebagian besar diantaranya mudah kuhindari karena aku mengambil langkah tegas untuk tidak sering bertemu dengan mereka. Aku hanya tidak ingin membenci orang lain yang sifatnya menjengkelkan karena terlalu sering bertemu.
Namun, ada satu orang toksik yang agak sulit kuhindari. Setiap bertemu dia aku masih struggling mengatasai rasa sakit hati yang ditimbulkannya. Awalnya aku merasa, apa mungkin aku terlalu lebay dalam menghadapi orang lain. Setiap perkataannya cenderung menyakitkan hatiku pun status-statusnya di media sosial selalu membuatku tergerak untuk sinis serta merasa terganggu.
Tapi setelah kuanalisis (semoga analisisku benar dan objektif), aku sudah cukup netral karena detoksifikasi yang kulakukan. Terhadap orang lain, yang sebelumnya kusebutkan yang juga cenderung toksik, aku tidak merasakan hal apapun. Setidaknya aku woles dan langsung bisa mengabaikannya. Tapi untuk yang satu ini, aku merasa ia benar-benar toksik.
Oleh karena itu, aku menerapkan beberapa cara yang dapat membuatku aman dari rasa sakit yang disebabkan oleh orang toksik ini. Berikut adalah beberapa cara menghadapi orang toksik:
Membatasi interaksi di media sosial
Jika bisa berhenti berteman dengan akunnya di media sosial, lakukan. Kamu hanya akan tambah terganggu dengan kemunculan status-statusnya di timeline. Jika tidak memungkinkan, senyapkan segala aktivitas yang berhubungan dengan akunnya. Itu sangat membantu proses healing-mu dari pribadi toksik.
Mengubah Sudut Pandang
Jika di media sosial aku dengan mudah untuk menyembunyikan status orang toksik, maka di kehidupan nyata tidak semudah itu. Daripada kita terus menghindari pertemuan dengannya, lebih baik ubah cara pandang kita mengenai dirinya. Jika pada satu kesempatan, kita memang sama sekali tak bisa lari menghindarinya ingatlah tentang beberapa hal ini.
Orang toksik biasanya merupakan korban dari orang toksik lainnya. Jadi alih-alih benci, seharusnya kita simpati kepada dia. Mungkin saja sekhidupannya terlalu keras dan toksik (tentu saja) sehingga membentuk kepribadiannya seperti itu. Yang artinya kehidupannya sendiri tidak lebih beruntung daripada kita.
Pada kasusku sendiri, orang toksik yang menggangguku dari berbagai segi kehidupan ia bukan orang yang diberi kelebihan melimpah. Hanya saja ia bisa dengan mudah merendahkan orang lain, miris kan? Jika aku merasa ingin membalasnya dengan melakukan hal yang sama kepadanya, itu jahat banget sih.
Ketika aku mengubah sudut pandang tentangnya, semuanya akan lebih jernih. Rasa simpatiku muncul melebihi rasa benci sehingga rasa tergangguku mulai luntur.
Ia berasal dari keluarga (terutama salah satu orangtuanya) yang juga bersifat tokisk dan ini akhirnya menjadi siklus berulang. Ia adalah korban dari orang toksik lainnya sehingga tak sadar memiliki sifat tersebut juga. meski aku yakin, ia tidak menyadari itu. Namun, sebagai ‘orang luar’ aku bisa lebih jelas melihat sebab-akibatnya.
Menghindari Konfrontasi
Ini bukan berarti kita tidak harus asertif terhadap hal yang kita rasakan ya. Hanya saja orang toksik, kecuali terjadi pada keluarga inti, menurutku bukan salah satu orang yang bisa menerima appaun yang kita katakan dengan jujur tentang sifat toksiknya.
Aku sendiri lebih memilih untuk tidak mengonfrontasi rasa tergangguku akibat sifat toksiknya tersebut. Seperti yang sudah kubilang di atas, aku lebih memilih mengurangi interaksi paparannya saja. Beberapa alasan aku menghindari konfrontasi adalah satu, aku masih sayang dengan hubungan baik di antara kami meski tidak terlalu dekat. Satu konfrontasi saja akan berpotensi merusak hal-hal baik.
Kedua, secara keseluruhan dia orang baik. Ketiga, aku tidak sesayang itu padanya. Jika rasa peduliku padanya sebesar aku mencintai keluarga, mungkin aku tak akan rela ia memiliki sifat toksik dan pasti akan berusaha mengubahnya dengan mengutarakan ketergangguanku.
Oya, untuk membuatnya seimbang kita tidak perlu menunjuk terlalu sering pada orang dan mencapnya toksik. Kadang kita juga harus mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Untuk diketahui dan diwaspadai, berikut adalah beberapa sifat toksik yang umumnya dimiliki manusia. Cek sifatmu sendiri dulu sebelum mencocokkannya dengan orang lain.
1. Mudah menyalahkan orang lain
2. Hobi mengomentari orang lain
3. Tidak terbiasa meminta maaf
4. Tidak menghargai privasi orang lain
5. Posesif
6. Bereaksi cepat pada hal-hal negatif
Jika kamu menemukan salah satu dari ciri-ciri tersebut di atas pada dirimu maka yang harus kamu lakukan adalah:
a. Belajar empati, menempatkan dirimu pada kasus orang lain.
b. Mencoba mendengarkan. Ketika kita terlalu banyak bicara dan hanya ingin didengarkan kita bisa jadi lupa dengan apa yang orang lain juga rasakan. Terlalu banyak bicara membuat kita jadi kurang bisa berempati.
c. Kunjungi ahli kejiwaan (psikolog/psikiater). Tak ada salahnya untuk datang ke ahlinya jika level sifat toksikmu sudah tak terbendung. Sebelum sifat tersebut menghancurkan hidupmu dan hubunganmu dengan orang-orang terdekat.
Jadi bagaimana status hubunganku sekarang dengan orang toksik yang kumaksud? Aku memberikan jarak aman dan nyaman bagiku sendiri untuk melindungi hatiku yang sering terluka karena perkataannya. Aku tidak membencinya juga karena seperti yang kubilang aku masih ingin punya hubungan baik dengannya.
Aku hanya fokus pada apa yang bisa kuubah yaitu hatiku. Aku tidak ingin menjadi toksik juga hanya karena pernah berurusan dengan orang toksik. Aku harus punya benteng dan toleransi yang seimbang agar tidak merugikan diriku sendiri dan orang lain. Semoga saja ia juga segera menyadari bahwa sifat toksiknya tersebut tdiak bermanfaat bagi dirinya sendiri sehingga ia bisa berubah. Amin. []
Setuju Mbak, kadang kita menghindari orang toksik karena tak ingin hubungan kita dengannya jadi rusak. Dan kalau dibilangin biasanya tuh orang bebal juga sih, hahhah. Jadi kita bantu doa saja semoga dia sadar.
BalasHapusPas banget baca postingan ini > Setahun yang lalu ketemu ama jenis orang begini, sayangnya,keluarga yang terbilang dekat lagi. Sekarang udah gak pernah interaksi sih. ...Tapi tetap suka kepikiran huhu
BalasHapussering banget ketemu yang kaya gini, tapi kadang belum tentu juga . kdang bisa balik ke diri sendiri yang paling penting mengontol diri sendiri dahulu hhe
BalasHapusBener banget sih Mbak. Aku termasuk paling gak nyaman kalau orang-orang mulai berkata kasar, mengeluh, dll. Rasanya kepala jadi pusing. Satu-stunya cara hanya bisa menghindar, hehe
BalasHapusMenjaga jarak aman memang cara ampuh sih, setidaknya buat diri kita sendiri dulu supaya terasa nyaman tanpa memutus tali silaturahmi ya
BalasHapusAh pas banget mba
BalasHapussekarang aku ada di lingkungan kerja yang menurut ku kurang sehat.
karena seringnya kalau gk ngomongin org ya ngeritik orang lain. sempet down kemaren. akhirnya aku mutusin untuk : pakai headset. hahaha cukup efektif mengurangi stress
Nah ini, lingkaran negatif atau positif sangat berpengaruh terhadap diri sendiri.
HapusPas banget dapat tulisan ini mbak. Saya nggak tahu saya yang toksik membuat orang lain menjadi toksik juga, atau sebaliknya...
BalasHapusBaca ini, saya jadi bisa berpikir kembali saya maunya apa.. makasih mbak . Tulisannya inspiratif banget...
Sama2 Mbak. Semoga kita bisa terus introspeksi diri agar tidak menjadi toksik bagi orang lain.
Hapus