Aku tidak tahu sejak kapan persisnya aku aware dengan mental health. Entah sejak mulai mendengar materi-materi mental health yang ada di Youtube atau sejak mulai membaca blog yang membahas tentang mental health. Yang jelas aku merasa tertarik dan can relate dengan materi ini. Akun-akun Youtube yang biasanya kutonton dengan tema mental health adalah Analisa, Satu Persen, dan Gita Savitri.
Setelah kenal dengan mental health aku menghubungkan materi-materi tersebut ke dalam kehidupanku.
Aku jadi menyadari bahwa tindakan setiap orang itu ada alasannya, entah karena trigger masa lalu atau ada alasan lain yang
membuat ia melakukan hal tersebut. Aku memosisikan diri menjadi pengamat, bukan
objek yang bersinggungan langsung dengan orang tersebut.
Dengan begitu aku bisa jadi lebih netral dalam
memandang satu hal. Dulu aku bisa benci sama seseorang karena tindakannya yang toksik.
Sekarang, aku sudah mulai bisa melihat ke belakang dirinya, apa yang
menyebabkannya bersikap demikian. Sehingga kadang bukan rasa benci yang mucul,
sebaliknya kasihan.
Selain mengaplikasikan pemahaman bagaimana mental health bisa memengaruhi tindakan
seseorang, aku juga mulai akrab dengan istilah-istilah yang ada di dalamnya.
Sebutlah toxic people, inner child, sikap asertif, pasif
agresif, dan sebagainya. Aku tidak punya banyak keluhan mental health, tapi orang di sekitarku ada. Aku merasa terpanggil
untuk membenarkan kusutnya benang ini dan memutus rantai penyebarannya.
Kasus-kasus Mental Health
Salah satu contoh kasus mental health yang kutemui adalah sebuah keluarga yang selalu
berpikiran negatif. Setiap aku berkomunikasi dengan mereka, pandangan mereka
terhadap sesuatu jauh lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Mulai dari
menjelekkan orang lain atau melihat kejadian yang sebenarnya positif tapi yang
mereka highlight adalah kenegatifan
yang ada di belakangnya. Aku tidak heran kalau aku tak ada, sangat mungkin
mereka juga membicarakan kejelekan diriku.
Awalnya aku merasa aneh dengan sikap mereka
tersebut, kok bisa ya mereka betah menjalani kehidupan dengan negative vibes. Setelah aku mempelajari mental health, aku bisa melihat mungkin hal
tersebut ada hubungannya dengan pola asuh orangtua. Meski terlihat dari luar
hubungan orangtua-anak tidak masalah, tapi anak menderita luka batin yang tidak
mereka sadari dan malah mengekspresikannya ke luar, kepada orang lain.
Sebutlah satu sifat buruk mereka yaitu judging. Aku pernah melihat bagaimana si
orangtua dengan mudahnya men-judge
anaknya dengan label buruk tanpa konfirmasi. Si anak, tanpa sadar juga
melakukan itu kepada orang di sekitarnya. Ketika di rumah ia sering disalahkan,
maka mudah baginya untuk terus menyalahkan orang lain ketika di luar rumah. Aku
berharap ia tidak memelihara sifat itu sih, kasihan jika sampai sifat yang sama
juga terbawa ke keturunannya. Pola pengasuhan buruk akan selalu terulang.
Orang-orang dengan aura negatif akan melihat bahkan kepada sifat positif juga negatif. Contoh, ketika seorang A menyumbangkan hartanya pada seorang B, mereka akan mencibir.
1. Duh, riya banget. (Padahal mereka yang berusaha mengorek informasi tentang sedekah tersebut).
2. Sayang sekali uangnya, mending disimpan (atau untuk mereka).
3. Ini pasti B kegatelan minta-minta sama A.
Anggaplah orang negatif ini namanya C. Seharusnya
C malah bersyukur, karena ia tidak bisa ikut membantu B, syukurlah ada A yang
bersedia dan mampu membantu. Kalau C juga ingin diberi, memangnya C mau kondisi
finansialnya seret juga? Toh A membantu B pasti karena melihat B kesusahan.
Jika benar pun B minta-minta, apa urusannya dengan C? C kebanyakan waktu,
makanya sempat mikirin sedekah orang, alih-alih memeikirkan bagaimana caranya
bisa bersedekah sendiri.
Pada seseorang yang lain aku melihat mental health yang terpuruk akibat lingkungan
sekitar yang selalu menekannya. Bukan tanpa alasan orang-orang ‘menerornya’,
itu karena ia selalu membuat keputusan yang salah dan berakibat buruk pada
hidupnya. Orang-orang ini sebenarnya peduli makanya mau repot-repot
memikirkannya. Tapi alam bawah sadar si orang ini malah merasa sikap
orang-orang terdekat tersebut adalah serangan sehingga ia membangun benteng
pertahanan. Ia tidak mau sering berinteraksi dengan orang-orang tersebut,
sebaliknya malah merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain.
Sebagai orang luar yang bisa aku perbaiki adalah
pola interaksi. Aku tidak akan melakukan judgement
yang membuat batinnya semakin terluka sehingga ia merasa nyaman ketika
berbicara denganku. Aku harap orang-orang terdekatnya juga menyadari ini
sehingga hubungan mereka kembali pulih dan orang ini kembali mendapatkan rasa
percayanya terhadap orang-orang yang sayang padanya.
Ia sendiri punya sifat buruk yakni tak mau
mendengar nasihat orang lain. Ia selalu merasa orang lain salah dan ia selalu benar
serta memosisikan diri menjadi korban. Nah, seandainya ia bisa berdamai dengan
dirinya sendiri, aku harap dia bisa hidup dengan lebih baik. Ia hanya perlu
mengakui beberapa kesalahan, mulai membuka diri dengan yang lain. Tidak semua
masukan jelek, mungkin hanya caranya yang kurang baik. Sekali lagi, sebagai
orang luar aku hanya bisa mengubah caraku memberi masukan agar lebih ramah dan
bisa didengar oleh orang yang punya segunung luka batin.
Aku juga pernah melihat sifat ‘sudah salah, keras
kepala pula’ ini pada seorang anak. Akhirnya aku tahu mengapa ia begitu, ia
dibesarkan oleh orangtua yang tidak mau mengalah dan mengakui kesalahan. Juga
malas mendengarkan nasihat orang lain, akhirnya ia meniru perilaku tersebut.
Ada banyak kasus lain di sekitarku yang berhubungan
dengan mental health. Kasus yang membuatku paling miris adalah kegelisahan yang
menyerang para ibu muda. Jadi, selain kebahagiaan yang hadir bersama dengan
hadirnya bayi, mereka juga sering terserang gangguan mental. Entah karena belum
cukup umur atau merasa beban yang mereka emban cukup berat, peralihan kondisi
dari lajang menjadi istri lalu menjadi ibu memang cukup jauh. Baby blues itu istilah yang paling
banyak diketahui, tapi aku juga pernah dengar istilah lain yaitu PPD (Post Partum Depression) yang gejalanya lebih
dahsyat daripada baby blues.
Yang menderita siapa? Bayi dan si ibu muda
sendiri. Iya, setelah marah-marah atau menangis tanpa sebab, sang ibu biasanya
langsung menyadari kesalahannya lalu kembali memeluk anaknya. Yang mereka
butuhkan sebenarnya ‘hanya’ dukungan moral dari sekitar, bukan judgement atau nasihat berlebihan yang
kadang membuat mereka tersudut. Bayangkan bagaimana kondisi kejiwaan para bayi
lucu tersebut, meski belum besar aku yakin mereka sudah bisa merasakan ada yang
tidak beres pada ibu mereka.
Penyebab Rusaknya Mental Health
Beberapa penyebab rusaknya mental health dari pengamatan amatirku adalah:
1. Pola asuh yang buruk dari orangtua. Orang-orang ini secara tidak sadar punya ‘dendam masa kecil’ atau biasa yang disebut sebagai inner child. Pelampiasan ‘dendam’nya kebanyakan ke keturunan mereka, karena jarang ada yang frontal durhaka kepada orangtua. Begitu terus hingga ini menjadi lingkaran setan yang tak pernah habis.
2. Korban dari perilaku toksik. Agak mirip dengan poin nomor satu, hanya saja bentuk hubungan dalam poin ini bisa apa saja. Bos-bawahan, sesama teman, sepupu, dan lain-lain. Ketika seseorang menjadi korban perilaku toksik orang lain, jika ia tidak menyadarinya dengan mindfullness, ia bisa melakukan hal yang sama kepada orang lain. Sama dengan yang pertama, pola lingkaran toksik ini susah diputuskan.
3. Kebanyakan waktu luang dan tidak mengisinya dengan hal positif. Waktu luang kadang bagi sebagian orang bukan merupakan harta yang berharga sehingga mereka menghamburkannya untuk sesuatu yang sia-sia seperti mengghibah orang lain. Berbeda dengan orang sibuk yang kelimpungan mencari waktu bahkan untuk dirinya sendiri, orang-orang dengan banyak waktu luang ini punya banyak kesempatan untuk membicarakan dan melakukan hal-hal sepele. Waktu itu sama dengan otak, jika tidak diisi dengan hal positif maka ia akan terdorong secara alamiah untuk mengisi sendiri dengan hal negatif. Akibatnya overthinking dan overacting, ini bisa memicu rusaknya mental health.
4. Kurangnya kedekatan dengan Sang Pencipta membuat hati lebih mudah gelisah. Hati yang gelisah inilah yang seringkali menjadi pemicu utama timbulnya was-was dan overthinking. Mental health yang baik salah satu tandanya adalah ketenangan hati, jika sudah gelisah maka ada yang salah di sana.
5. Kombinasi rendahnya tingkat wawasan dan ekonomi. Mengapa aku bilang wawasan bukan pendidikan? Karena menurutku orang yang pendidikannya rendah bisa saja punya wawasan yang bagus, serta sebaliknya. Ketika wawasan seseorang sempit ditambah kondisi ekonomi yang terhimpit maka kekacauan secara mental health akan lebih mudah terjadi.
Pentingnya Keberadaan Ahli Mental Health
Para ahli mental
health kebanyakan hanya tinggal di kota serta hanya dapat dijangkau oleh
mereka yang memiliki kelas finansial menengah ke atas. Padahal, kasus mental health di pedesaan juga cukup
banyak. Ibu-ibu penggosip yang punya waktu luang berlebih dapat menjadi trigger buruknya mental health. Belum lagi jika melihat dari sisi ekonomi, status
finansial yang terpuruk sangat mungkin membuat seseorang menjadi tidak stabil.
Orang-orang seperti ini butuh berkonsultasi dengan ahlinya.
Indonesia butuh ahli mental health lebih banyak. Bisa psikiater atau psikolog, atau
setidaknya orang-orang biasa yang mulai aware
dengan pentingnya membuat sehat mental kita selain kesehatan secara fisik.
Jangan takut untuk disebut sakit jiwa jika
mendatangi psikiater atau psikolog. Seharusnya kita lebih takut lagi jika
merasakan mengidap penyakit kejiwaan tapi tidak menyadarinya. Jika ini terjadi,
sulit untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Alih-alih membantu orang lain,
orang dengan masalah mental health biasanya
disibukkan oleh masalahnya sendiri sehingga bahkan yang terjadi adalah mereka
dapat merugikan orang lain.
Gejala yang tampak dan mudah dikenali saat
seseorang punya masalah mental health adalah
sering cemas, mudah marah, mudah sedih, punya pandangan negatif ke banyak hal,
dan menderita sakit fisik tanpa penyebab medis. Untuk poin terakhir biasanya
disebut psikosomatis, sakit fisik yang disebabkan oleh tekanan batin atau
kondisi psikologi yang kurang baik.
Cara Menjaga Mental Health
Aku sendiri bukan yang 100% terbebas dari gangguan
mental health. Kalau boleh dibilang,
aku juga terlahir dari kondisi psikologi keluarga yang tidak sempurna. Tapi setidaknya
setelah mengenal dan menyadari pentingnya mental
health, aku bisa meminimalisir terjadinya masalah-masalah tersebut.
Ada beberapa cara yang selama ini ampuh kuterapkan untuk kondisi kesehatan mentalku. Setiap orang tentu saja punya cara yang berbeda. kebetulan, bagiku cara-cara di bawah ini bekerja untukku.
1. Menjauhi akun-akun negatif yang dapat memperburuk perasaan bahkan termasuk akun yang pemiliknya yang kukenal dengan baik. Jika tidak bisa unfriend karena tidak enak, aku hanya akan hide status mereka.
2. Mengurangi intensitas berkumpul dengan orang-orang ber-vibes negatif yang kalau ngumpul sering membicarakan kejelekan orang lain.
3. Tidak mengikuti drama atau hiburan receh yang berseliweran di internet. Percayalah alih-alih menghibur, hiburan receh yang nggak ada manfaatnya itu kadang menguras cukup besar emosi dan membuat kita burn out.
4. Tidak menonton atau membaca berita kriminal dan cerita-cerita sedih.
5. Cukup me time dengan tidur, menonton, dan membaca hal-hal yang membahagiakan.
6. Self healing dengan memikirkan semua hal-hal positif yang diberikan dalam hidup kita.
7. Mendekatkan diri dengan Yang Di Atas
Dengan melakukan hal-hal tersebut, aku merasa fullfilling dan tidak merasa kekurangan.
Aku jadi tidak butuh menyalahkan orang lain ketika satu kekeliruan terjadi. Aku
bisa jadi lebih accepting ketika
kenyataan tak sesuai harapan. Aku jadi tidak mudah marah dan sedih dengan
hal-hal kecil yang mengganggu. Aku jadi lebih mindfull dalam menjalani hidup. Intinya, tahu apa penyebab aku
merasakan sesuatu dan tahu apa tujuanku dalam melakukan sesuatu. Bahagia
seharusnya memang sesederhana itu. []
Aku juga suka channel satu persen, Beda dg akun yg lain, kalimatnya lebih renyah untuk diikuti. Semakin kesini banyak orang aware dengan kesehatan mental. semoga menjadikan indonesia lebih baik
BalasHapusWah aku sering nemuin keluarga2 dengan kesehatan mental terganggu. Salah satu nya ya berpikiran negatif terhadap keluarga lain. Bisa jd karena iri atau salah pola asuh
BalasHapusWah banyak ya istilah mental health, dulu paling dibilang tekanan/luka batin doang. Sekarang lebih menjurus ya istilih2nya. Kayak pola asuh yang buruk sekarang bisa juga disebut luka pengasuhan. Ada tuh bukunya berjudul membasuh lula pengasuhan, kalau mau liat reviewnya boleh mampir ke blog aku mba whehe
BalasHapusSaya belum pernah mengakses channel yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, padahal selama pandemi keaehatan jiwa penting banget. Harus dijaga supaya bisa mempertahankan imun tubuh agar tak mudah sakit. Kalau sekarang paling berusaha mebjauhi segala seauatu yang bersifat toxic supaya pikiran tetap sehat.
BalasHapusAku setuju mbak, org lain melakukan sesuatu itu biasanya pasti ada alasan, entah karena ke triger dari org lain atau gimana. Ga mungkin asal ngelakuin tanpa alasan tertentu sih.
BalasHapusMe time dan self healing ini sangat kurang sejak corona. Aku rasa buat mental health aku harus segera keluar dari zona tdk nyaman ini
BalasHapussalah satu tips yang kupake kalo udah ada sakit pada mental biasanya aku memandang segala sesuatu secara objektif. nggak subjektif.
BalasHapuslelah banget kalau sudah berhadapan sama orang yang negatif thinking melulu. kayak hidupnya berat banget. heu
BalasHapusSalah satu yg worked banget buat menjaga mental health itu adalah mengabaikan penilaian orang lain thd kita. Krn kalo standar kebahagiaan diri dr penilaian org rasanya gak akan pernah ada kata sempurna n bahagia.
BalasHapusTerlebih di tengah masa pandemi saat ini, mental health menjadi hal yang penting.
BalasHapusBanyak orang berlomba-lomba menjaga kesehatan tubuh tanpa menyadari bahwa ketakutan berlebih, tekanan hidup ditengah pandemi dan faktor lain sangat mempengaruhi kesehatan jiwa