Aku bisa menuliskan detail panjang tentang sebuah hal kecil berikut pikiran dan perasaanku mengenainya lalu membagikannya di media sosial. Tapi aku juga bisa menahan diri untuk tidak menceritakan pendapat atau pengalamanku tentang sebuah hal yang umum karena pertimbangan tertentu, bahkan saat ada yang bertanya.
Apakah aku memiliki kepribadian terbuka atau tertutup? Seperti banyak hal di dunia ini, menurutku itu tidak dapat dipolarisasi. Kita hanya bisa memandangnya sebagai sebuah spektrum. Setelah melihat lebih condong ke mana arahnya, jika kamu ingin membuat definisi, itu sah-sah saja. Aku menyebut bahasan ini sebagai spektrum kepribadian. Ini hanya istilah yang tiba-tiba terpikirkan olehku, mungkin belum ada penelitian empiris mengenainya.
In another case, aku punya tingkat kemalasan yang menurutku cukup parah. Jika sudah mager ya mager saja, jangan harap kalau bukan deadline atau situasi mendesak aku mau mengerjakan sesuatu. Tapi di situasi lain, aku juga dikenal sebagai anak yang rajin -tanpa bermaksud riya, pakai banget.
Kemalasan dan kerajinanku ini berhubungan erat dengan spektrum mood-ku yang cukup luas. Seperti manusia pada umumnya, my mood is up and down. Meski menurutku, waktu berubahnya juga tidak secepat itu. Makanya aku bisa bilang jika kondisi hatiku sebagai suatu fase, karena dia tidak se-plin-plan itu. Kadang di fase bersemangat, kadang di fase ya-udah-malas-aja.
Contoh lain, aku punya teman yang memiliki spektrum emosi cukup luas. Pada satu waktu ia cukup tenang, di waktu lainnya dia terlihat seperti tidak bisa diganggu. Aku menyebutnya sebagai mode senggol bacok. Saat kebetulan dia mengungkitnya, aku bilang kalau dia menakutkan di saat seperti itu. Untungnya komentar pedasku tersebut tidak berdampak buruk pada hubungan kami hingga sekarang.
Apa spektrum kepribadian selalu luas atau hanya karena kita belum kenal orangnya saja? Tidak juga menurutku. Ada beberapa hal dalam diriku yang menurutku akan tetap di area yang sama meski pemicu eksternalnya berubah-ubah. I know my self very well, some value just stay there. Maybe this is called consistency.
Temanku yang lain punya spektrum emosi yang sempit, kalau tidak bisa kukatakan flat. Most of the time aku menghabiskan waktu dengannya, emosinya ya memang di sekitar level itu-itu saja kalau aku bisa menggambarkannya dalam tingkatan. Bukannya dia tanpa emosi, tapi emosinya konsisten. If you know what I mean, you know. Catat, emosi di sini literally emosi secara harfiah ya. Bukan emosi yang dimaknai sebagai gejolak perasaan negatif.
Apakah spektrum kepribadian bisa berubah? Mungkin saja. Baru-baru ini, aku menyadari tingkat kepedulianku kepada orang lain lebih lebar daripada biasanya. Aku tidak bisa bilang ini lebih baik atau lebih buruk, hanya saja ini berbeda dari aku sebelumnya. Aku jadi lebih memperhatikan hal-hal di luar diriku, hal-hal yang sebelumnya luput dari pengamatanku. Aku dapat menduga apa sebabnya, tapi mengantisipasi akibatnya menurutku lebih penting. See, sangat mungkin spektrum kepribadian berubah berdasarkan faktor internal atau pun eksternal. We are just human who have fluidity.
Lalu untuk apa spektrum kepribadian ini kuamati? Hanya untuk membuatku semakin menyadari bahwa manusia itu kompleks. Semakin sempit suatu spektrum kepribadian, semakin mudah untuk mendefinisikan seseorang. Namun pada spektrum yang berbeda, batasannya bisa jadi sangat luas dan itu kadang membuat kita tidak dapat mengenali seseorang -bahkan jika dia adalah diri kita sendiri. []
Posting Komentar
Posting Komentar