Baru-baru ini aku mengikuti dua acara kepenulisan yang berbeda, baik dari segi konsep, tempat, bidang, maupun kelompok peserta.
Di acara pertama, aku hampir tidak kenal dengan satu pun pesertanya. Ini karena bidang penulisannya memang bukan yang biasa aku geluti. Dari semua peserta aku hanya kenal 2 di antaranya, sebenarnya 3 tapi satu orang batal ikut. Yang dua ini, satu diantaranya hanya sempat ngobrol satu kali di acara karena dia tidak terlalu full ikut acara. Itu pun juga hanya kenal seadanya. Yang satu lagi agak intens bertemu di acara, sebelumnya aku hanya bertemu satu kali dengannyaa di acara kepenulisan tahun sebelumnya. Sisa peserta lainnya blass aku nggak kenal.
Susah loh bisa berada di situasi asing seperti ini. Semakin sempit zonanya, semakin besar kemungkinan kita bisa bertemu dengan orang yang dikenal. Sebaliknya, semakin luas wilayah dan kategori peserta, akan semakin sedikit pula peluang kita bertemu dengan orang yang dikenal.
Terkadang, aku senang berada di lingkungan asing. Rasanya bebas saat berada di antara orang-orang yang tidak dikenal. Kalau panitia atau narasumbernya, sebagian dari mereka aku kenal. Setidaknya nama mereka memang lebih tersohor.
Aku susah menghafal nama dan wajah orang. Di acara pertama aku berusaha keras untuk hal yang satu ini. Karena ya ga mungkin dong sama sekali nggak bersosialisasi selama tiga hari kegiatan. Akhirnya di hari ketiga aku baru bisa mencocokkan antara wajah dan nama beberapa orang, itu pun karena mulai save nomor WA di akhir acara.
Di hari kedua, aku salah sapa orang dong. Eh, sapaku, tadi malam jadi nginap atau pulang? Wajahnya bingung. Kak, kita satu penginapan katanya. Hiks, malunya. Menurutku skedua orang ini mirip baik secara wajah maupun postur badan. Meskipun setelah kami berpisah aku menyadari bahwa keduanya berbeda dari segi cara berpakaian. Terus menurut validasi orang-orang di sekitarku sejak dulu, mirip versiku tidak semirip itu juga. Hanya aku saja yang memang kurang bisa membedakan antara satu dan lainnya.
Sejak sekolah aku memang bukan penghafal yang baik. Aku harus punya jembatan keledai sendiri yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, supaya logikaku aktif.
Di keterasingan seperti kemarin itu, aku mengamati diriku sendiri bagaimana responku berada di antara orang-orang yang tidak dikenal. Dari dulu tidak berubah, aku lebih banyak diam dan jarang memulai pembicaraan duluan. Aku memang tidak mudah akrab dengan orang lain. Jika pun aku berinisiatif memulai pembicaraan duluan, itu pasti karena disengaja karena ya aku tahu pentingnya ngobrol dan menjalin relasi dengan orang baru. Lingkungan kerjaku sekarang sangat membutuhkan itu. Jika hanya menuruti kata hati, aku hanya akan diam mengamati seluruh peristiwa dan perilaku di sekitar.
Eh tapi ada satu hal yang masih aku banget sejak sekolah dulu yaitu menyimak materi dengan fokus. Aku selalu berusaha untuk duduk paling depan atau berada di posisi yang strategis untuk menyimak materi. Aku masih suka belajar secara formal.
Di acara kedua, hampir 50 persen peserta aku kenal, dan sepertinya orang-orang juga banyak mengenalku. Kondisi seperti ini enggak yang buruk-buruk amat juga. Untungnya si sana aku juga masih bisa berkenalan dengan orang baru. Pertama, aku berkenalan dengan dua orang yang duduk di sampingku.
Aku datang tepat waktu saat acara pembukaan dimulai. Jadi pas orang-orang ramai registrasi aku belum datang. Tapi aku sempat mengikuti seluruh rangkaian acara pembukaan. Seandainya aku datang lebih cepat, aku nggak mungkin duduk di belakang.
Nah jadi aku kenalan dengan dua orang adik ini. Sampai hari terakhir kita catch up terus padahal baru kenal. Mereka juga akhirnya akrab padahal sama-sama baru kenal di sana. Dan dengan dua atau tiga kali tukar kamar, mereka akhirnya sekamar.
Nah yang paling berkesan adalah room mate aku. Akak yang satu ini sefrekuensi banget. Sama aku, dia banyak bicara, di luar hal-hal kepenulisan, di luar waktu kelas. Mungkin dia nyaman juga setelah ngobrol denganku, aku banyak tau dan kelihatannya bisa ngertiin yang dia bicaraain. Kebetulan dia bukan orang Banjar, jadi kita ngobrol pakai Bahasa Indonesia most of the time.
Itu salah satu enaknya ngobrol dengan orang sefrekuensi, sebanyak apapun kita mendengarkan dia berbicara, kita nggak bakalan enek karena ceritanya ya memang relate atau topiknya memang menarik perhatian kita. Bukan yang terpaksa harus kita dengarkan untuk berbasa-basi gitu. Ngerti kan maksudku? Aku juga ngobrolnya enak. Nggak bakal takut disangka terlalu tinggi atau sok kalau ngomongin hal-hal yang kita memang passionate terhadapnya.
Oh satu lagi, mengenai usia. Di acara pertama didominasi usia di bawahku. Di acara kedua sepertinya lebih banyak usia di atasku. Entah kenapa di setiap tempat aku selalu lebih relate dengan mereka yang lebih muda. Nggak sadar diri memang. Hihi.
Ah, begitulah ceritaku mengenai dua event terbaru yang aku ikuti. Yang jelas dari kedua acara tersebut aku belajar bahwa tidak akan pernah ada kata berhenti untuk belajar. Baik secara akademik, maupun inspirasi dari orang-orang baru yang kita temui. []
Posting Komentar
Posting Komentar